REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia menilai, peluang usaha toko ritel modern di pesantren masih besar. Sebab, Indonesia memiliki banyak pesantren di berbagai daerah, sedangkan yang memanfaatkannya baru sedikit.
Bahlil menjelaskan, Hipmi sudah melihat potensi pengembangan ekonomi pesantren sejak tahun lalu. Saat itu, Hipmi mewadahi kebutuhan praktik bisnis para santri di Jawa tanpa mengganggu pendalaman ilmu agama.
"Caranya, membangun dan mengembangkan skema ritel modern yang ditempatkan di pondok pesantren," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (22/1).
Pada 2018, Hipmi memulai perjalanan ritel modern di pesantren dengan membuka Ummart atau Umat Mart. Sampai akhir 2019, mereka menargetkan dapat melakukan ekspansi 500 gerai dengan fokus lokasi di kawasan pesantren.
Menurut Bahlil, memang tidak semua pesantren dapat mengembangkan skema ritel modern karena harus menyesuaikan dengan kurikulum pengajaran di pesantren. Tapi, ia optimistis, setidaknya 2.000 sampai 3.000 pesantren di Jawa Timur dapat menerapkannya.
"Jumlah itu sedikit dibanding dengan total pesantren yang ada, sekitar 20 sampai 30 persen," katanya.
Bahlil menuturkan, konsep Ummart sendiri berbeda dengan ritel modern pada umumnya. Yakni, pemberdayaan semi syariah dan koperasi yang diharapkan mampu memberi dampak maksimal bagi pesantren dari sisi edukasi maupun bisnis. Jangka panjangnya, pesantren dan santri dapat mengembangkan ritel modern ini secara mandiri.
Saat ini, industri ritel tengah mengalami perubahan konsep dari offline menjadi omnichannel atau memadukan antara online dengan offline. Di tengah pergeseran ini, Bahlil menilai, prospek ritel modern masih terbilang cerah. Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional masih ditopang oleh konsumsi.
Konsep ritel syariah seperti Ummat sebenarnya bukan hal baru karena beberapa minimarket sudah mengusung konsep serupa, seperti 212 Mart. Bahlil memandangnya bukan sebagai persaingan yang patut dicemaskan. Ia justru mengapresiasi para pelaku ritel yang mulai mengembangkan bisnis model ini.
"Apalagi, mayoritas penduduk Indonesia kan beragama Islam," ujarnya.
Dalam mengembangkan Ummart, HIPMI turut menggandeng Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sebagai pihak yang dianggap memahami industri di sektor ritel. Sementara HIPMI lebih fokus pada pengembangan konsep dan manejemen, Aprindo menangani operasional.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, ritel modern di pesantren merupakan konsep baru yang patut dipertimbangkan di tengah perkembangan industri ritel. Salah satu tujuannya, untuk mendorong pelaku usaha kecil dan menengah agar lebih memahami industri dan memberdayakan komunitas pesantren.
Tidak kalah penting, Roy menambahkan, ekonomi pesantren memungkinkan santri bisa mendapatkan pengalaman wirausaha secara langsung. Mereka dapat belajar langsung mengenai cara membangun usaha untuk kemudian diterapkan di kemudian hari ketika mereka ingin menjadi enterpreneur.
"Ketika sudah ada contoh nyata, mereka tahu masalah apa saja yang muncul dan bagaimana menyelesaikannya," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, kerja sama ritel modern dengan pesantren sudah pernah membuahkan hasil. Salah satunya terjadi di Jember, di mana pesantren menjalin kerja sama dengan Alfamart dan Indomaret. Dampaknya, peningkatan omzet mereka mencapai 500 persen.
Enggar menuturkan, sistem yang mereka terapkan lebih modern atau tidak seperti warung biasanya. Pengusaha di pesantren juga bisa mendapatkan harga lebih murah dari sentral hingga edukasi mengenai penataan produk yang lebih baik.
"Pemerintah juga berencana menyiapkan kurikulum (ekonomi dan bisnis) ke pesantren, sehingga mereka lebih siap," ujarnya saat konferensi pers di Kantor Kemendag, Kamis (10/1).
Menurut Enggar, kewajiban pemerintah dalam memberdayakan pondok pesantren tidak hanya berupa bantuan pendidikan, juga pendampingan ekonomi. Di antaranya dengan mempersiapkan produk UKM yang akan dipasarkan, dikembangkan hingga memiliki daya saing tinggi.
Salah satu pekerjaan utama dalam mengembangkan ekonomi pesantren adalah branding. Enggar menjelaskan, beberapa pesantren sudah membuat produknya sendiri, seperti air mineral.
Hanya saja, para santri dan tenaga pengajar belum memahami cara pengemasan dan branding hingga dapat diterima dengan baik di pasaran. "Ini yang akan kami dorong," ucapnya.