Senin 21 Jan 2019 18:09 WIB

Perusahaan Ritel Telat Antisipasi Perkembangan Teknologi

Semakin tinggi tingkat ekonomi, masyarakat ingin akses yang lebih mudah.

Sejumlah pengunjung berbelanja di Lotus Department Store di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (26/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengunjung berbelanja di Lotus Department Store di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (26/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Perencana Keuangan Indonesia menilai kolapsnya sejumlah perusahaan ritel terjadi karena beberapa faktor. Direktur Panin Asset Management, Ridwan Soetedja, mengatakan hal ini terjadi bukan karena penurunan daya beli.

"Pasar ritel memang terpengaruh oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan kita beli semua secara online, jadi ada pergeseran tren akses pada barang konsumsi," kata dia di Bursa Efek Indonesia, SCBD, Jakarta, Senin (21/1).

Platform online telah memengaruhi penjualan secara ritel karena akses yang lebih mudah dan efisien. Selain itu, Ridwan juga melihat adanya pergeseran tren membeli barang produksi Usaha Kecil Menengah (UKM).

Masyarakat lebih memilih membeli produk UKM daripada ritel besar. Home industry semakin mendapat tempat, misalnya produk-produk kebutuhan rumah tangga yang lebih ramah lingkungan. "Daya beli masyarakat meningkat sehingga punya akses pada pilihan lain, apalagi cara mendapatkannya mudah dengan online," kata dia.

Ketua Asosiasi Perencana Keuangan Indonesia (FPAI), Henry Januar menyampaikan banyaknya perusahaan ritel yang kolaps karena terlambat mengantisipasi perkembangan global. Dalam lima tahun terakhir daya beli masyarakat stabil dan cenderung meningkat.

Semakin tingginya tingkat ekonomi, masyarakat menginginkan akses yang lebih mudah. Hal ini tidak ditangkap dengan baik oleh pemain-pemain ritel. Apalagi kedepannya konsumen terbesar perekonomian adalah kalangan milenial yang ingin serba cepat.

"Lima tahun kedepan, para pembeli usia produktif paling banyak adalah milenial, mereka mengalami peningkatan kualitas hidup sehingga terjadi pergeseran gaya hidup," kata Henry.

Aktivitas ekonomi mereka semakin agresif dan terlihat pola pemilihannya. Jika industri ritel tidak menjawab tantangan tersebut, maka mereka akan tertinggal sangat jauh. Selain itu, Henry melihat ada porsi daya beli yang berpindah ke investasi.

Karena kemampuan ekonomi meningkat, mereka jadi punya potensi untuk menyalurkan pada investasi. Menurut survei mandiri FPAI, masyarakat mulai berani coba-coba beragam instrumen investasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement