REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika deflasi terjadi pada musim liburan panjang tahun ini, hal itu dinilai merupakan sinyal bahaya bagi perekonomian Indonesia. Pasalnya, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, pada momen-momen musiman seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, masyarakat memiliki kultur yang kuat dalam meningkatkan permintaan (demand).
“(Kalau) musim liburan panjang malah terjadi deflasi, itu malah sangat mengkhawatirkan karena itu momen yang biasanya justru masyarakat Indonesia yang tradisinya sangat kuat, kulturnya sangat beragam dan kuat, tapi malah justru menurunkan demand atau permintaan pada saat musim-musim tersebut. Nah, itu justru malah menjadi sinyal yang bahaya bagi perekonomian,” kata Eko di Jakarta, Jumat (14/3/2025) merespons angka deflasi pada Februari 2025 yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Dalam ilmu ekonomi, lanjut dia, penyebab deflasi biasanya karena permintaan yang melemah. Artinya, kendati para pedagang menurunkan harga, tetapi konsumen tetap tak meningkatkan belanja karena ada masalah dalam kemampuan daya beli mereka.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa deflasi yang terjadi secara berturut-turut hingga beberapa bulan itu mengkhawatirkan. Karena kondisi itu merepresentasikan penurunan minat belanja masyarakat seiring pendapatan mereka tergerus.
“Jadi, memang deflasi kalau terjadi berturut-turut menjadi indikator pelemahan daya beli masyarakat,” kata Eko.
Menurut dia, deflasi tak bisa dianggap sebagai suatu prestasi. Hal ini mengingat deflasi yang berlarut-larut biasanya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi negara tertentu.
Secara empirik, ucapnya, mengatasi deflasi itu lebih rumit daripada menangani inflasi. Jika mengatasi inflasi, berarti masih ada permintaan yang kuat, tinggal bagaimana menambah persediaan, memperbaiki distribusi, dan menjaga harga tetap stabil.
Namun, kalau deflasi itu bersumber dari pendapatan yang mengalami penurunan atau tidak naik, sehingga cara memperbaiki keadaan tersebut harus membuat penghasilan meningkat terlebih dahulu dan menyediakan lapangan pekerjaan, lalu kesejahteraan meningkat, baru deflasi bisa teratasi.
“Jadi, bukan prestasi ya deflasi itu,” ujar Ekonom Indef tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan bahwa deflasi pada Februari 2025 yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) juga dipengaruhi oleh faktor melemahnya daya beli masyarakat, bukan hanya faktor harga diatur pemerintah (adminestered price). Alasannya, menurut dia, selain kelompok tarif listrik, yang mengalami penurunan inflasi juga pada kelompok makanan.
“Ini sesuatu yang tidak lazim, karena biasanya menjelang Ramadhan justru harga barang-barang sudah mulai merangkak naik, terutama akan meningkat lebih tinggi lagi pada Ramadhan dan Lebaran. Harganya itu justru mengalami penurunan, nah ini sesuatu yang tidak biasa dan bisa dikaitkan dengan penurunan daya beli secara umum,” ujar Faisal.
Di sisi lain, Ia tidak memungkiri bahwa faktor pendorong deflasi terbesar pada Februari 2025 yaitu dari harga diatur pemerintah (adminestered price), utamanya pada kelompok tarif listrik.
“Kalau melihat dari komponen inflasi yang dikeluarkan memang yang paling besar sumbangannya adalah deflasi pada kelompok tarif listrik terutama. Tapi, jangan lupa juga bahwa yang deflasi bukan hanya itu ya,” ujar Faisal.
View this post on Instagram