REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal menilai, rintangan untuk memperbaiki kinerja perdagangan pada tahun 2019 masih sangat besar. Tantangan ini diakibatkan dari faktor internal maupun eksternal.
Pertama, Faisal menjelaskan, faktor-faktor eksternal yang menekan ekspor di tahun 2018 masih akan dirasakan di tahun 2019. Khususnya perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama dan sentimen perang dagang. "Selain itu, harga komoditas andalan diprediksi akan terus melemah di tahun 2019, termasuk di antaranya sawit, batubara, karet dan tembaga," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (15/1).
Faktor ketiga, harga minyak yang memperlebar defisit migas berpotensi untuk kembali meningkat pada 2019, meski sudah mengalami penurunan tajam di akhir 2018. Peningkatan ini sangat terbuka sejalan dengan rencana negara-negara OPEC dan Rusia untuk melakukan production cut secara signifikan. Kondisi ini tetap terjadi sekalipun kemungkinan besar peningkatan harga tidak akan melebihi rata-rata harga minyak di tahun 2018.
Faktor berikutnya tekanan terhadap rupiah yang mendorong lonjakan impor di tahun 2018 juga diprediksi masih akan dirasakan di tahun 2019. "Meskipun dengan kadar yang lebih rendah dibanding tahun 2018," kata Faisal.
Impor Melejit, Defisit Terburuk Sepanjang Sejarah
Meski begitu, Faisal mengatakan, pemerintah masih dapat memperbaiki kinerja perdagangan masih sangat terbuka, setidaknya untuk memperkecil defisit. Sejumlah kebijakan untuk meredam impor yang sudah dikeluarkan seperti kebijakan PPh 22 impor untuk barang konsumsi, program B20, maupun kebijakan TKDN perlu dievaluasi kembali. Sebab, selama 2018. regulasi ini masih belum banyak terasa efektivitasnya agar lebih terlihat efektivitasnya pada tahun ini.
Faisal menjelaskan, dalam jangka menengah panjang, revitalisasi industri manufaktur mutlak dilakukan. Tujuannya untuk mendongkrak daya saing produk-produk manufaktur dan mendorong akselerasi pertumbuhan ekspor manufaktur. Apalagi, mengingat harga komoditas ekspor terus tertekan.
Di samping itu, untuk jangka yang lebih pendek, pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi ke negara-negara tujuan ekspor non tradisional. "Sehingga, ketergantungan terhadap pasar ekspor utama tidak terlalu besar," ujar Faisal.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan data bahwa neraca dagang Indonesia sepanjang 2018 mengalami defisit sebesar 8,57 miliar dolar AS. Berdasarkan catatan BPS, defisit tersebut adalah yang terbesar sejak 1975. Saat itu, defisit mencapai 391 juta dolar AS.
Sejak 1975, Indonesia baru kembali mengalami defisit perdagangan pada 2012 yakni sebesar 1,7 miliar dolar AS. Kemudian, defisit kembali terjadi pada 2013 sebesar 4,08 miliar dolar AS dan pada 2014 sebesar 2,2 miliar dolar AS.