REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melambatnya daya beli masyarakat menjadi salah satu penyebab tutupnya sejumlah gerai ritel. Ditambah lagi dengan menjamurnya platform penjualan e-commerce yang membuat masyarakat lebih memilih berbelanja online.
"Daya beli memang tidak menurun, tapi juga tidak tumbuh impresif, artinya stagnan bahkan cenderung melambat," ujar Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus kepada Republika.co.id, Selasa (15/1).
Di sisi lain, pola konsumsi berubah menjadi serba instan dan praktis. Kehadiran pasar online menjawab pola perubahan konsumsi tersebut.
Meskipun demikian, Heri menegaskan, inovasi bisnis juga turut memengaruhi keberlanjutan bisnis ritel. "Yang telat sedikit saja dalam berinovasi, maka dia akan tertinggal dan semakin kurang peminatnya," katanya.
Sementara itu, Sosiolog Musni Umar menilai adanya diskon dan inovasi bisnis lainnya tidak terlalu berpengaruh dalam situasi sekarang ini. Karena seperti yang terjadi saat akhir tahun lalu, banyak gerai-gerai ritel yang melakukan promosi diskon besar-besaran, tapi tidak banyak yang membeli.
"Diskon tidak otomatis menaikkan daya beli, akhir tahun banyak diskon tapi tidak ramai. Daya beli masyarakat memang lagi terpuruk," ujar Musni.
Masuknya produk luar negeri yang dijual di online, juga banyak mempengaruhi masyarakat dalam berbelanja online. Menurutnya hal ini karena ekonomi yang masih belum mendongkrak konsumsi masyarakat.
Apalagi banyaknya pengangguran akibat PHK di tahun lalu. Data dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) mencatat sebanyak 37 ribu perusahaan kontraktor swasta mengalami kebangkrutan dalam tiga tahun terakhir.
"Makanya banyak yang jadi sopir GrabCar dan Go-CAR. Beberapa kali saya naik Grab atau Gojek itu yang membawa adalah orang-orang yang pernah bekerja sama orang, kemudian karena di PHK beralih jadi sopir," paparnya.
Sementara itu, daya beli masyarakat yang turun hanya berlaku kepada masyarakat menengah ke bawah. Menurut pengamatannya, mal dan toko- toko kelas menengah ke atas masih dibanjiri pembeli berkantong tebal.
"Yang tidak berubah segmen pasar menengah ke atas. Mal-mal mahal ramai semua, seperti Senayan City, Grand Indonesia, Plaza Indonesia," jelas Musni.
Dia menilai hal ini masih akan berlanjut hingga usai Pilpres dan Pileg 2019. Pengusaha masih wait and see akan situasi politik di Indonesia sebelum berinvestasi. Selain itu, tidak adanya politik uang juga tidak akan mendongkrak daya beli masyarakat.
"Dulu untuk masyarakat bawah ada marak politik uang, sekarang karena pengawasan ketat sekali, para caleg hati-hati tidak mau jor-joran," katanya. Idealisa Masyrafina