Jumat 04 Jan 2019 23:52 WIB

Mangga Indonesia Bisa Masuk ke Australia Akhir Tahun

Indonesia sudah berkomitmen menggunakan iradiasi guna menjamin kesehatan mangga

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang memilah buah mangga di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Ahad (7/10).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang memilah buah mangga di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Ahad (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Kepatuhan, Kerjasama dan Informasi Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Arifin Tasriff memprediksi, mangga Indonesia sudah bisa masuk ke pasar Australia pada akhir tahun. Proses ini terlaksana setelah kedua negara mengkaji perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS) selama sekitar enam tahun. 

Arifin menuturkan, pada Oktober, pemerintah Australia dengan Indonesia yang diwakili Kementan akan bertemu. Pada kesempatan tersebut, kedua belah pihak siap menandatangani perjanjian yang membuktikan bahwa Australia siap menerima mangga Indonesia. Sebaliknya, Australia meminta Indonesia untuk menerima benih kentang dari distrik South Australia dan Victoria. 

Menurut Arifin, dalam perjanjian tersebut, Indonesia  sudah berkomitmen untuk menggunakan teknologi iradiasi guna menjamin kesehatan mangga yang diekspor ke Australia. "Untuk penerapan ini, kami sudah kerja sama dengan Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional)," ucapnya ketika ditemui dalam diskusi di Gedung Kementan, Jakarta, Jumat (4/1). 

Arifin menjelaskan, Australia tidak menentukan besaran mangga yang ingin dikirim dari Indonesia. Tapi, ia memastikan, eksportir mangga akan memaksimalkan komoditasnya untuk dikirim ke Negeri Kangguru tersebut. Selama ini, diketahui, Australia kerap menerima mangga dari Thailand dan Filipina. 

Saat ini, Arifin mengatakan, para pelaku usaha sudah menjalin komunikasi dengan buyer di Australia. Dengan begitu, proses ekspor dapat terlaksana segera setelah perjanjian kerja sama ditandatangani pemerintah kedua negara. "Setelah dapat izin, B2B (Business to Business) sudah bisa jalan cepat," ucapnya. 

Setelah pemerintah pusat membuka akses ekspor, Arifin menuturkan, kini tugas pemerintah daerah untuk menjaga dan mengelola kontinuitas komoditas. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan teknologi penyimpanan yang dedicated dan sophisticated. 

Menurut Arifin, selama ini, Thailand dan Filipina telah menaruh prioritas terhadap teknologi gudang penyimpanan. Dengan begitu, mereka dapat mengirimkan mangga ke Australia meski sedang tidak masa panen. "Mereka biasanya menyimpan hasil panen lama di gudang dalam kondisi satu derajat celcius, sehingga awet dan kualitasnya masih bagus saat dikirim dan diterima," katanya. 

Selain Australia, Kementan juga mencoba menjalin kerja sama dengan Uni Eropa yang diperkirakan dapat rampung dengan menandatangani perjanjian kerja sama pada tahun ini. Berbagai komoditas akan didorong untuk diekspor, termasuk cengkeh, pala dan kakao yang menjadi hasil bumi andalan Indonesia. 

Arifin mengatakan, perjanjian dengan Uni Eropa merupakan salah satu perjanjian paling high quality dan menjanjikan. Apabila dapat terlaksana, hampir dipastikan daya saing Indonesia di pasar internasional dapat terdongkrak. "Sebab, masuk ke sana tidak mudah. Kalau produk kita bisa tembus, berarti nilai tambah kita sudah diakui bagus," ujarnya. 

Sekretaris Umum Asosiasi Eksportir dan Importir Buah dan Sayur Segar Indonesia Hendra Juwono menyambut baik realisasi ekspor mangga ke Australia. Para pelaku usaha sendiri kini juga berusaha keras memaksimalkan kinerja ekspor dengan mencari peluang dan calon buyer di negara tujuan. 

Tapi, Hendra mengakui, ekspor buah masih menghadapi tantangan besar berupa kesulitan mencari bahan baku. Apalagi, apabila pengusaha belum mengetahui lokasi sentra. "Oleh karena itu, tidak sedikit yang mencari ke tengkulak atau pengepul," ujarnya. 

Tantangan berikutnya adalah kesulitan dalam pengumpulan, sehingga ekspor buah tidak dapat berjalan secara maksimal. Kesulitan ini akibat banyaknya perkebunan rakyat skala kecil dengan lokasi terpencar di berbagai daerah. Eksportir buah, yang beberapa di antaranya masih industri kecil dan menengah (IKM) mengalami kesulitan untuk mengumpulkannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement