Sabtu 22 Dec 2018 13:52 WIB

Inilah Tiga Hoax Terkait Divestasi Freeport

Kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas).

Presiden Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson (kedua kanan) disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri), Menteri ESDM Ignasius Jonan (kedua kiri) dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin seusai memberikan keterangan terkait pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12/2018).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Presiden Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson (kedua kanan) disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri), Menteri ESDM Ignasius Jonan (kedua kiri) dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin seusai memberikan keterangan terkait pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah berhasil menjadi pengendali PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang dengan deposit emas terbesar di dunia di Papua. Hal itu terjadi setelah 51 tahun perusahaan tersebut berada dalam kendali perusahaan Amerika Serikat, Freeport McMoRan.

Namun banyak beredar hoax seputar proses tersebut yang disebar oleh pengamat. Berikut informasi sesat dan fakta yang sebenarnya.

Hoax: Tambang PTFI digadaikan ke asing. Jika Inalum gagal melunasi obligasi global untuk membeli PTFI, tambang tersebut akan jatuh ke investor asing. 

Fakta: Menurut dokumen Inalum, tidak ada aset atau saham Inalum dan anak usaha perusahaan, termasuk PTFI, yang digadaikan untuk mendapatkan 4 miliar dolar AS. Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 3 tahun dan paling panjang 30 tahun. 

Kupon obligasi ini ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991 persen. Setiap tahunnya, rata-rata Inalum hanya diwajibkan membayar kupon senilai Rp 1,7 triliun. Dengan pendapatan setiap tahun diprediksi sekitar Rp 60 triliun, Inalum memiliki kemampuan yang besar untuk membayar kupon tersebut. 

Jika meminjam bank, ada risiko bunga semakin mahal dan harus membayar pokok cicilan. Sehingga, apa yang dibayar Inalum bisa jauh lebih besar dari Rp 1,7 triliun. Bank juga mewajibkan adanya aset atau saham yang harus digadaikan.

Hoax: Inalum membeli tanah air sendiri karena tambang PTFI ada di Indonesia

Fakta: Berdasarkan dokumen Inalum, yang dibeli adalah perusahaan, bukan cadangan yang dimiliki oleh PTFI dimana PTFI sudah mengantongi izin komersil untuk menambang di Grasberg sejak 51 tahun yang lalu. Pemerintah juga tersandera oleh kontrak PTFI yang dibuat di zaman Soeharto sehingga ketika kontrak berakhir maka hanya ada dua opsi: perpanjang hingga 2041 atau pemerintah digugat di pengadilan internasional. Tidak ada jaminan pemerintah akan menang di pengadilan tersebut, dan jika kalah akan diwajibkan membayar ganti rugi senilai puluhan triliun rupiah.

Kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas), yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan di sektor migas, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema /cost recovery senilai miliaran dolar AS per tahunnya.

Hoax: Harga yang dibayarkan Inalum kemahalan

Fakta: Inalum membayar 3,85 miliar dolar AS atau Rp 55 triliun untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen. Apa yang didapat? Kekayaan tambang senilai Rp 2.400 triliun dan laba bersih sebesar Rp 29 triliun per tahun setelah 2022. 

Di tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah melakukan proyeksi harga dan hasilnya lebih mahal. Menurut studi IAGI, harga untuk menjadi mayoritas diperkirakan sebesar 4,5 miliar dolar AS atau Rp 65 triliun. 

Pada tahun 2015, Freeport McMoran mengajukan harga 12,15 miliar untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia menjadi 51 persen kepada Kementerian ESDM, yang kemudian ditawar menjadi 4,5 miliar dolar AS. Angka hasil valuasi konsultan keuangan Morgan Stanley pada awal tahun adalah 4,67 miliar dolar AS. 
(adv)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement