Senin 10 Dec 2018 07:40 WIB

Ekonom: Dampak KEK Terhadap Perekonomian Belum Optimal

KEK memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam membangun ekonomi daerah

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) -- Ilustrasi
Foto: setkab.go.id
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) -- Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) masih harus banyak berbenah. Sebab, sampai saat ini, KEK belum memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi.

Salah satu penyebabnya adalah banyak KEK yang belum dimanfaatkan secara optimal. Misal, KEK Sei Mangkei di Sumatera Utara. "Kawasan itu sebenarnya cukup progresif tapi belum terlihat mampu mendorong ekonomi wilayah," tutur Heri ketika dihubungi Republika, Senin (10/12).

Heri menjelaskan, tenant di KEK masih terlalu sedikit, sehingga otomatis penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah belum maksimal. KEK di Indonesia sudah menawarkan banyak insentif, tapi masih sedikit sekali investor yang mendapatkannya. Misal, KEK Sei Mangkei, di mana investor belum menerima fasilitas yang dijanjikan pemerintah sejak awal.

Heri menilai, kekurangan ini harus segera diperbaiki oleh pemerintah maupun pihak terkait. Sebab, KEK memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dalam membangun ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan antara pusat dengan daerah.

"Ini ditunjang dengan pembangunan kawasan industri," katanya.

Heri mengatakan, sebelum membangun KEK dan kawasan industri, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus memetakan jenis industri andalan serta potensi ekonomi lainnya di tiap-tiap daerah. Dengan begitu, infrastruktur yang dibangun memberikan manfaat maksimal.

Ketua Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terus menjadi prioritas pemerintah. Pada semester pertama 2019, setidaknya tiga KEK akan diresmikan yakni Bitung, Morotai dan Arun Lhokseumawe.

Setelah itu, dua KEK yang juga berpotensi diresmikan adalah Sorong dan Tanjung Kelayang. Tidak lama kemudian, KEK Tanjung Api Api dan Maloy Batuta Kalimantan diprediksi Wahyu akan menyusul diresmikan, meski bukan pada 2019. "Kami lakukan secara bertahap," tuturnya ketika dihubungi Republika, Ahad (9/12).

Wahyu menjelaskan, tantangan terbesar yang dihadapi dalam peresmian KEK adalah masalah kesiapan tanah dan badan usaha pengelola untuk membangun kawasannya. Guna mengatasinya, pemerintah pusat terus bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait, termasuk komunitas masyarakat setempat.

Persoalan utama dan klasik yang menghambat pengembangan KEK adalah lahan. Wahyu menjelaskan, sebagian besar pengusul KEK, atau dalam hal ini adalah pemerintah daerah, bukanlah pemilik dari lahan yang diusulkan menjadi wilayah KEK. Mayoritas lahan tersebut bersinggungan dengan tanah milik warga atau badan usaha tertentu, sehingga mengalami hambatan.

Wahyu mencatat, kondisi ini dialami oleh sejumlah KEK. Termasuk di antaranya KEK Bitung, Sulawesi Utara, KEK Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan dan KEK Morotai yang berada di Maluku Utara.

Kesiapan sumber daya manusia juga disebut Wahyu sebagai tantangan besar. Untuk itu, pemerintah melakukan training bersama perusahaan swasta guna memaksimalkan kualitas tenaga kerja. "Dari segi infrastruktur di luar kawasan, pemerintah juga telah menyiapkannya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement