REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, dorongan pengusaha Indonesia agar perdagangan dengan negara lain menggunakan mata uang renminmbi atau yuan akan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Tapi, dampaknya tidak akan signifikan apabila jumlahnya terlampau sedikit.
Apabila nilai yang dikonversi mencapai belasan hingga puluhan miliar dolar AS, dampaknya baru bisa dinilai signifikan. Apalagi, ekspor dan impor terbesar Indonesia saat ini adalah dengan Cina.
"Secara langsung dan tidak langsung, akan membantu ketergantungan rupiah terhadap dolar AS," tutur Reza ketika dihubungi Republika, Kamis (6/12).
Reza menambahkan, penggunaan mata uang yuan dalam transaksi perdagangan dengan Cina mampu mendorong kinerja ekspor dari Indonesia. Sebab, permintaan dari Cina berpotensi naik dengan kemudahan tersebut.
Reza menjelaskan, dampak lainnya adalah hubungan bilateral kedua negara akan lebih meningkat sehingga dapat memperluas kerja sama di bidang lain. "Imbas lain neraca pembayaran dapat lebih berkurang tekanannya," ujarnya.
Sementara itu, Analis Binaartha Sekuritas M Nafan Aji Gusta Utama menjelaskan, dampak paling esensial dari rencana pengusaha ini adalah mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS. Khususnya dalam melakukan transaksi perdagangan dengan negara lain. Hal ini penting mengingat stabiltias rupiah menjadi urgensi Indonesia saat ini.
Di sisi lain, Nafan menambahkan, potensi perdagangan antara Indonesia dengan Cina akan meningkat pesat. "Intinya, kedua negara akan mendapatkan benefitnya," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pengusaha sudah berkomitmen bersama pemerintah untuk terus mengupayakan agar rupiah tidak mengalami tekanan. Di antaranya dengan mengurangi ketergantungan dolar AS dalam transaksi perdagangan melalui konversi ke yuan.
Hariyadi optimistis, rencana ini dapat terealisasi mengingat komitmen pengusaha yang begitu besar. Terlebih, renmbinbi sudah diakui sebagai mata uang internasional oleh Internationa Monetary Fund atau Dana Moneter Internasional.
Alasan utama pengusaha Indonesia menetapkan Cina sebagai negara referensi pertama adalah tingginya nilai transaksi dagang. Hariyadi mencatat, total perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai 60 miliar dolar AS.
Indonesia mengalami defisit dalam transaksi itu, yakni impor 35 miliar dolar AS dan ekspor 25 miliar dolar AS.
Butuh intervensi pemerintah
Kini, Hariyadi mengatakan, tantangan besar adalah regulasi. Ia mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan yang lebih tegas terhadap penggunaan mata uang renimbinbi atau yuan dalam transaksi perdagangan. "Selama ini sudah ada, tapi kami menilai belum efektif," ujarnya.
Pada 2009, diketahui Bank Indonesia sudah membuat perjanjian dengan People’s Bank of China tentang pertukaran mata uang antara rupiah dengan renminbi di sektor perdagangan. Perjanjian ini juga dikenal sebagai Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA).
Tapi, Hariyadi menilai, karena tidak ada intervensi dari negara, perjanjian tidak berdampak maksimal. Pengusaha masih kurang percaya untuk bertransaksi dengan renminbi dan memilih tetap menggunakan dolar AS. "Kalau sudah ada kebijakan dari pemerintah, kepercayaan itu lebih muncul," ucapnya.
Hariyadi menjelaskan, upaya konversi dolar ke renminbi merupakan poin penting di samping kebijakan yang sudah terlebih dahulu diputuskan pemerintah guna menstabilkan rupiah. Di antaranya, pembatasan impor dengan menyesuaikan tarif pada Pajak Penghasilan (PPh) 22.
Tidak hanya Cina, Hariyadi menuturkan, pihaknya juga berusaha mendorong konsep serupa dengan negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang. Dengan begitu, ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS dapat menurun. "Dampaknya, dapat menekan current account defisit (CAD) untuk tidak semakin melebar," tuturnya.
Menurut Hariyadi, transaksi perdagangan dengan menggunakan renminbi akan memberi keuntungan bagi dua negara. Indonesia mampu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, pun dengan Cina yang saat ini situasi ekonominya tengah tertekan karena perang dagang.