REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto menilai, keberadaan mobil listrik tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kendaraan konvensional. Sebab, kedua jenis kendaraan ini memiliki variasi harga berbeda, sehingga pasarnya cenderung tidak tumpang tindih.
Tapi, Jongkie menjelaskan, kemungkinan ketatnya persaingan antara mobil listrik dengan konvensional tetap ada. Apalagi, dengan besarnya kemungkinan insentif pajak yang diberikan pemerintah terhadap industri pengembangan mobil listrik.
"Dengan insentif, harga kedua jenis mobil bisa tidak terlalu jauh perbedaannya," ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (30/11).
Jongkie memprediksi, apabila insentif pajak bisa diberikan kepada industri dan pembeli, mobil listrik dapat diminati masyarakat. Ia memberikan contoh insentif pajak untuk pembelian mobil listrik di negara tetangga, yakni Thailand dan Malaysia. Di kedua negara itu, harga jenis mobil hybrid justru bisa lebih murah dibanding dengan konvensional.
Hanya saja, pemerintah dan pihak terkait juga harus memastikan ketersediaan infrastruktur penunjang. Khususnya, stasiun pengisian listrik umum (SPLU) di pusat perbelanjaan, apartemen dan tempat publik lain. Sebab, SPLU akan menjadi kebutuhan penting ketika industri kendaraan listrik sudah berkembang.
Untuk mengembangkan SPLU, Jongkie menjelaskan, pemerintah juga dapat membantu dengan meringankan bea masuk apabila peralatan SPLU harus diimpor. Dengan begitu, pihak swasta semakin aktif untuk turut andil.
"Ke masyarakat, mereka jadi semakin tertarik beli mobil atau motor listrik karena merasa mudah ketika mau isi ulang," ucapnya.
Jongkie menilai, apabila isu perpajakan dan infrastruktur sudah terpenuhi, agen pemegang merek (APM) pasti semakin tertarik dan gencar dalam memasarkan kendaraan listrik di Indonesia. Pada tahap awal, mereka mungkin mengimpor karena tingginya biaya perakitan di Indonesia.
Infrastruktur juga menjadi poin yang ditekankan pengamat otomotif Bebin Djuana. Fasilitas SPLU harus disebar secara meluas. Tidak terbatas di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, juga ke daerah lain agar pengguna tidak kehabisan baterai di tengah perjalanan.
Bebin menilai, industri kendaraan listrik di Indonesia masih sulit untuk berkembang karena infrastruktur yang belum memadai. Setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk pemerintah dan swasta membangun infrastruktur yang dibutuhkan.
"Kalau dipaksakan sekarang atau dalam waktu satu dua tahun, takutnya (kendaraan listrik) hanya jadi pajangan," ucapnya.
Infrastruktur lain yang harus diperhatikan adalah keberadaan pusat servis dan pemahaman tenaga kerja. Meski komponen kendaraan listrik terlihat lebih simpel dibanding dengan kendaraan konvensional, Bebin menjelaskan, tetap ada potensi kerusakan.
Saat ini, pemerintah terus membahas payung hukum untuk kendaraan listrik, khususnya mobil. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menargetkan, rancangan peraturan presiden (Perpres) itu dapat dirapatkan secara terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada bulan depan.
Pada Kamis (29/11), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan melakukan rapat koordinasi dengan DPR mengenai mobil listrik di Gedung DPR Jakarta. Menurutnya, perpres tersebut berisikan insentif fiskal dan non fiskal dalam pengembangan mobil listrik.
Sebelumnya, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan, Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menjelaskan, rancangan terbaru merupakan peralihan dari kajian Perpres yang sebelumnya dibahas di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Rancangan Perpres masih terdapat pasal-pasal (yang dibahas) khususnya yang terkait dengan pengembangan industri," ujar Putu dalam rilis yang diterima Republika pada Oktober.