REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh oleh Dr Oni Sahroni, MA, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI
Assalamualaikum, Ustaz.
Bagaimana jika ada sebuah rumah sakit melakukan kerja sama dengan supplier obat, di antara kesepakatannya adalah supplier obat atau perusahaan X akan menjual sejumlah obat selama setahun. Rumah sakit akan membelinya secara berkala dan bertahap tiap bulan. Sebagai insentif, perusahaan X akan memberikan cash back di muka atau diskon off faktur.
Pertanyaannya apakah rumah sakit boleh memanfaatkan cash back ini layaknya hak miliknya atau pendapatannya? Mohon penjelasan beserta dalilnya, Ustaz.
(Agung-Makassar)
---
Waalaikumussalam wr. wb.
Rumah sakit boleh memanfaatkan cash back tersebut; layaknya hak milik dan pendapatannya sebagaimana kriteria yang akan disebutkan di bawah ini. Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap dokumen transaksi, wawancara dengan pengelola rumah sakit tersebut, kaidah-kaidah fikih muamalah dalam literatur, serta fatwa Dewan Syariah Nasional terkait.
Cash back tersebut boleh dimanfaatkan oleh rumah sakit (pembeli) layaknya pendapatannya dengan beberapa kriteria berikut. Pertama, apabila ada perjanjian kerja sama (PKS) antara rumah sakit dan supplier obat, di mana isi klausul PKS tersebut mewajibkan rumah sakit membeli sejumlah obat dengan nilai tertentu, dengan cara membeli secara bertahap setiap bulan hingga seluruh nilai dari obat tersebut terbeli sesuai kesepakatan.
PKS ini dianggap sebagai janji beli dan janji jual yang mengikat kedua belah pihak dan harus ditunaikan. Hal ini sebagaimana penegasan fatwa DSN MUI Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) bahwa janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh orang atau pihak yang menyatakan janji (wa'id).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Standar Syariah Internasional AAOIFI Nomor 8 tentang Jual Beli Murabahah yang merujuk pada pendapat Ibnu Syubrumah yang menegaskan bahwa janji itu mengikat dan harus dipenuhi. Oleh karena itu, penjual–berdasarkan janji tersebut–harus menjual sesuai dengan nominal atau nilai obat yang disepakati, sementara rumah sakit juga harus membeli hingga nilai dari obat tersebut terbeli.
Kedua, cash back tersebut diperkenankan selama terjadi dalam transaksi jual beli, jual beli jasa, atau bagi hasil. Cash back tersebut diperkenankan sebagai hibah yang halal atau at-tanazul ‘anil haq yang diperkenankan menurut para ulama.
Namun, jika terjadi dalam transaksi utang piutang (qardh), di mana kreditur menerima cash back sebagai syarat atas jasa pinjamannya kepada debitur, cash back tersebut ada riba sesuai dengan parameter riba dalam kaidah fikih. Parameter itu adalah setiap pinjaman yang memberikan manfaat atau benefit (yang dipersyaratkan) bagi kreditur itu riba.
Cash back yang diterima oleh pembeli (rumah sakit tersebut) itu terjadi dalam jual beli. Maka, itu diperkenankan. Sebab, cash back berarti merelakan hak atau memberikan hibah kepada pembeli karena strategi marketing atau kebijakan lain.
Di samping itu, tidak ada dalil (nash) yang melarang cash back dalam ketiga transaksi tersebut maka berlaku kaidah dasar, "Pada prinsipnya, dalam muamalah itu mubah kecuali ada dalil yang melarangnya." Kemudian, hadis Rasulullah Saw, "Kaum Muslimin harus memenuhi setiap syarat (perjanjian) di antara mereka." (Abu Daud 3596 dan disahihkan al-Albani).
Ketiga, jika cash back diberikan oleh penjual atau supplier tanpa ada syarat-syarat tertentu, cash back tersebut menjadi milik penuh rumah sakit sejak ditandatangani kontrak jual beli. Akan tetapi, jika cash back diberikan oleh supplier dengan syarat total nilai obat yang akan dijual harus terbeli semua maka cash back dimiliki oleh pembeli dengan syarat rumah sakit sudah membeli total nilai obat yang akan diperjualbelikan. Oleh karena itu, harus ada klausul pada saat nilai obat belum terbeli oleh rumah sakit bagaimana status cash back tersebut.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk melakukan aktivitas sesuai ridha dan keinginan Allah SWT. Wallahualam.