REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bank Indonesia menyebutkan bahwa industri financial tehcnology (fintech) butuh waktu untuk menerapkan tingkat bunga yang tak terlalu tinggi. Persoalan bunga fintech P2P lending akhir-akhir ini menjadi perbincangan karena dianggap terlalu 'mencekik' peminjam.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Susiati Dewi menyebutkan, ada perbedaan mendasar yang dijalankan fintech P2P lending dibandingkan lending biasa. Dalam fintech P2P lending, pemberi pinjaman harus melakukan assesment profile atau penelusuran profil peminjam untuk memastikan peminjam layak mendapat suntikan dana.
"Makanya credit data scoring menjadi penting. Tinggi tidaknya bunga, itu masyarakat yang menilai. Namun, ke depan, kalau profil (peminjam) makin komprehensif dan sudah open banking data interaction antara para pelaku saya pikir akan menurunkan harga kredit," jelas Susiati di sela pelatihan wartawan BI di Yogyakarta, Kamis (15/11).
Susiati menyebutkan, sebagai industri yang baru tumbuh kencang di Indonesia, wajar bagi fintech P2P lending membutuhkan 'biaya' yang mahal untuk melakukan penilaian atas profil peminjam. Tapi, ia yakin, pembentukan big data dan penggunaan artificial intellegence dalam melakukan assesment profile maka bunga juga bisa ikut turun.
"Peer to peer kan data di OJK. Namun, faktanya kalau kepada seseorang yang tak dikenal, kalau lari ke bank kan ada potensi ngga dapat (pinjaman). Namun begitu, peer to peer dia melihat profile tiga hari terakhir dan bisa bantu pinjaman," kata Susiati.
Sebagai informasi, kehadiran perusahaan fintech P2P lending banyak dikritik setelah maraknya kasus yang diungkap oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Per Mei lalu ada 283 orang yang melaporkan tindak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan pinjaman online ini, seperti penindasan dalam proses penagihan hingga penyebaran data pribadi.