Senin 19 Nov 2018 23:45 WIB

Produsen Listrik Harus Mewaspadai Era Harga Murah EBT

Arah kebijakan energi listrik Indonesia masih bertolak belakang dengan tren global

pembangkit tenaga surya terapung di Jepang
Foto: Kyocera/Sciencealert
pembangkit tenaga surya terapung di Jepang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangkit listrik berbahan bakar tenaga matahari (surya) sedang digencarkan di dalam negeri. Kendati demikian, harga jual listrik yang dihasilkan dari energi surya ini masih terbilang mahal.

Institute for Essential Service Reform (IESR) memperkirakan pada satu dekade mendatang atau 2028 harga listrik dari pembangkit surya dan tenaga baterai lebih murah dari listrik jaringan (grid). "Harga listrik solar pv dan baterai akan jadi murah, ini akan meningkatkan risiko aset PLN dan IPP. Pemerintah dan perusahaan listrik perlu menyadari ancaman ini," kata Direktur IESR Fabby Tumiwa baru-baru ini.

Fabby menjelaskan perlu adanya transformasi bisnis yang baru, sebab arah kebijakan energi dan kelistrikan Indonesia masih bertolak belakang dengan tren global. Perubahan yang terjadi di sektor energi dalam bentuk dekarbonisasi, digitalisasi, dan desentralisasi pembangkit.

Semakin murahnya harga energi baru terbarukan, menurut dia, sebaiknya diwaspadai oleh para pemangku kepentingan untuk segera berinovasi dalam pengembangan bisnisnya. Hal itu berdasarkan dari semakin kuatnya tekanan dari dunia internasional mengenai pengembangan energi baru terbarukan guna menurunkan emisi gas rumah kaca.

Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) berharap para investor dari negara-negara Uni Eropa dapat menjadi mitra dalam mengembangkan sektor EBTKE yang saat ini masih terus digencarkan di Indonesia dalam rangka memenuhi target yang ada di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris yang mewakili Dirjen EBTKE dalam kegiatan tahunan Green Energy Technology (GET) oleh European Union Business Avenue in South East Asia (EUBA), mengatakan bahwa kini penggunaan teknologi bersih sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia.

"Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030. Dengan bantuan investasi luar negeri, pemerintah optimis dapat mengurangi emisi hingga 41 persen," kata Harris.

Hal itu, jelas dia, sejalan dengan semangat peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), yang selain dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern akan energi, juga merupakan upaya pengurangan karbon emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.

Oleh karena itu, pemerintah, katanya, sangat mengharapkan investasi untuk pengembangan sektor EBT di Indonesia, yang menitikberatkan pada aspek-aspek kesejahteraan sosial, penciptaan iklim bisnis yang kondusif, serta faktor-faktor pertumbuhan ekonomi.

"Pengembangan EBT difokuskan kepada ketahanan energi, peningkatan rasio elektrifikasi, penyebaran yang merata, dan harus dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan, untuk mempermudah pengembangan EBT di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan reformasi birokrasi, terutama kepada proses dan pelayanan investasi seperti simplifikasi perijinan, menyusun pengaturan perijinan secara online, serta pelaksanaan good governance.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement