REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah oknum pabrik di Pulau Jawa kedapatan menjual bebas 60 ribu ton gula rafinasi di pasaran. Tindakan oknum pabrik tersebut menurut Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Nur Khabsyin membuat gula hasil produksi petani lokal tidak laku dijual di pasaran.
Menurut Khabsyin, hal ini sudah terjadi di beberapa wilayah, termasuk Kalimantan. Di sana, pasaran didominasi gula impor.
Khabsyin menyebutkan, ada dua dugaan penyebab gula rafinasi ini bisa sampai beredar ke pasar. Yakni, jumlah impor yang terlalu banyak dan sistem penjualan ke industri dan makanan tidak terkontrol.
"Sebaiknya menggunakan sistem lelang online sehingga terkontrol dan terpantau," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (13/11).
Khabsin menjelaskan, impor gula rafinasi ini membuat harga rata-rata beli gula petani terus menurun. Pada 2016, harga masih Rp 11.500 per kg dan turun menjadi Rp 9.800 per kg pada 2017. Pada tahun ini, harga beli semakin menurun, yakni hingga Rp 9.500 per kilogram.
Terkait peredaran gula rafinasi di pasar bebas ini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) siap mengambil tindakan tegas terhadap industri yang terbukti mengedarkan gula rafinasi ke pasar.
Sekretaris Jendral Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih menjelaskan, rembesan gula rafinasi yang beredar di pasaran merupakan tindakan ilegal. Sebab, gula tersebut diimpor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, bukan untuk bersaing dengan gula kristal produksi dalam negeri.
Karyanto juga menegaskan, pihaknya telah memutuskan menghentikan pasar lelang gula rafinasi dengan mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Perdagangan GKR (Gula Kristal Rafinasi) melalui Pasar Lelang Komoditas. Ini dilakukan atas rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karyanto menuturkan, Kemendag telah berkomunikasi dengan bagian penelitian dan pengembangan KPK untuk mencabut peraturan tersebut. "Ini dilakukan sejak ada masukkan bahwa lelang rafinasi menimbulkan potensi hal-hal yang lain, makanya kami cabut," ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (13/11).
Terkait izin impor gula rafinasi untuk industri, pemerintah menetapkan melalui rapat koordinasi tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian teknis. Untuk memastikan rembesan gula rafinasi di pasar, Karyanto memastikan, pemerintah sudah berusaha melakukan pengawasan. Sementara Kementerian Perindustrian mengawasi impor gula rafinasi sesuai dengan kebutuhan industri, Kemendag melihat kondisi di pasar.
Karyanto menambahkan, potensi bocornya gula rafinasi ke pasaran harus bisa diantisipasi dengan melakukan survei kebutuhan industri. Apabila ada industri yang mengajukan permintaan gula di atas kebutuhan mereka, maka harus dikaji kembali karena berpotensi rembes ke pasar.
"Kalau ketahuan melanggar, maka pemerintah akan berikan hukuman," ujarnya.
Karyanto menuturkan, rembesan gula rafinasi di pasaran disebabkan pengusaha yang masih kerap nakal. Banyak di antara mereka mengajukan permintaan gula di atas kebutuhan dan sebagiannya dijual ke pasaran.
Karyanto menyebutkan, hal tersebut sebenarnya sudah diantisiapsi dengan memberikan izin impor yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas produksi industri. Tapi, sejumlah pengusaha terlalu 'kreatif', sehingga lolos dari pengawasan pemerintah. "Kalau memang ada gula rafinasi di pasaran, harusnya segera dilaporkan ke pemerintah," tuturnya.