REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun hampir dua persen pada akhir perdagangan Kamis (8/11) atau Jumat (9/11) pagi WIB. Penurunan harga minyak global karena investor fokus pada pembengkakan pasokan minyak mentah global, yang meningkat lebih cepat daripada yang diperkirakan banyak orang.
Pasar fokus pada rekor produksi minyak mentah AS dan sinyal dari Irak, Abu Dhabi dan Indonesia bahwa produksi akan tumbuh lebih cepat daripada yang diperkirakan pada 2019. Kekhawatiran akan melimpahnya pasokan potensial mengurangi reli di awal sesi yang didorong oleh data Cina yang menunjukkan rekor impor minyak.
"Ada tiga masalah yang dibuat, yakni peningkatan persediaan AS, kelebihan produksi OPEC dan berkurangnya sanksi Iran," kata Bob Yawger, direktur berjangka di Mizuho di New York.
Minyak mentah Brent berjangka, patokan global, turun 1,42 dolar AS atau 1,97 persen, menjadi menetap di 70,65 dolar AS per barel, terendah sejak pertengahan Agustus. Sementara itu, minyak mentah AS berjangka, West Texas Intermediate (WTI) turun 1,00 dolar AS atau 1,6 persen, menjadi 60,67 dolar AS per barel, terendah sejak 14 Maret.
Dalam perdagangan pasca-penyelesaian, kedua kontrak memperpanjang kerugian mereka. Impor minyak mentah Cina naik menjadi 9,61 juta barel per hari (bph) pada Oktober, naik 32 persen dari setahun sebelumnya, data bea cukai menunjukkan.
Cina masih akan diizinkan untuk mengimpor beberapa minyak mentah Iran di bawah keringanan sanksi-sanksi AS yang akan memungkinkannya untuk membeli 360 ribu barel per hari selama 180 hari, dua sumber yang akrab dengan masalah tersebut mengatakan kepada Reuters pada Selasa (6/11).
Produksi minyak mentah AS mencapai rekor tertinggi baru sebesar 11,6 juta barel per hari pada minggu terakhir, dan negara itu kini telah melampaui Rusia sebagai produsen minyak terbesar dunia. Langkah yang lebih tinggi dalam produksi adalah sebuah lompatan besar, "bukan hanya tanda centang (menunjukkan ada sesuatu yang benar atau telah dilakukan)," kata Yawger.
Badan Informasi Energi AS mengatakan minggu ini mereka memperkirakan produksi melampaui 12 juta barel per hari pada pertengahan 2019, berkat minyak serpih.
Sekalipun dengan sanksi-sanksi AS terhadap minyak Iran di tempat, investor percaya ada lebih dari cukup pasokan untuk memenuhi permintaan. Pemberian keringanan kepada sanksi-sanksi mengintensifkan persepsi pasar bahwa sanksi-sanksi tidak dapat membatasi pasokan minyak mentah sebanyak yang diharapkan semula.
Pandangan ini tercermin dalam grafik harga yang menunjukkan kontrak berjangka Brent Januari diperdagangkan pada diskon hingga Februari. Struktur harga ini, yang dikenal sebagai "contango", terwujud ketika pelaku pasar percaya ada kelebihan pasokan dan memutuskan untuk menyimpan minyak daripada menjualnya. Ini menciptakan kumpulan minyak mentah yang tak terjual lebih besar.
Beberapa pengamat pasar percaya Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, dapat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi pasokan. "OPEC dan Rusia dapat menggunakan pemotongan (produksi) untuk mendukung 70 dolar AS per barel," kata Ole Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank.
Lembaga think tank terkemuka yang didanai pemerintah Arab Saudi sedang mempelajari kemungkinan efek pada pasar minyak dari terpecahnya OPEC, Wall Street Journal melaporkan pada Kamis (8/11), mengutip orang-orang yang akrab dengan masalah ini.
Proyek penelitian itu tidak mencerminkan perdebatan aktif di dalam pemerintah mengenai apakah akan meninggalkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam waktu dekat.