REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah terus bergerak menguat. Bahkan hari ini telah mencapai level Rp 14.800 per dolar AS.
Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu menilai, penguatan tersebut dipengaruhi faktor pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 yang diumumkan kemarin, sedikit di atas ekspektasi pasar. "Ini menjadi salah satu faktor penolong rupiah," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (6/11).
Seperti diketahui, pada Senin, (5/11), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada kuartal III tahun ini ekonomi tumbuh 5,17 persen. Angka itu meningkat dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar 5,06 persen.
"Di samping itu memang pelemahan rupiah sudah terlalu dalam relatif terhadap kondisi fundamental ekonominya," jelas Febrio. Hanya saja, menurutnya penguatan mata uang Tanah Air tersebut tidak mencerminkan kondisi hingga akhir 2018.
Alasannya, paling tidak masih ada tiga risiko global shocks. "Fed Funds Rate (FFR) akan naik pada Desember, harga minyak mentah memang agak turun tapi masih belum pasti karena isu Iran masih belum selesai. Lalu Isu trade war juga belum ada jaminan akan berkurang walaupun ada rencana pertemuan Trump-Xi di Argentina," tuturnya.
Ke depannya, LPEM memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 sebesar 5,1 sampai 5,2 persen. Dengan data terakhir, sinyal ke 5,2 persen semakin besar. Rata-rata pertumbuhan kuartal satu sampai kuartal tiga pun sudah menembus 5,17 persen.
"Kalau pada 2019 kami prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 5,2 sampai 5,3 persen. Kemudian pada akhirnya, koreksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2019 ke arah normalnya akan lebih cepat terjadi," ujar Febrio.