Rabu 31 Oct 2018 23:25 WIB

Menanti Solusi agar Pembeli Meikarta tak Dirugikan

OJK melakukan langkah mitigasi risiko meninjau ulang data bank penyalur KPA

Pekerja beraktivitas di kawasan proyek pembangunan Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (15/10).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Pekerja beraktivitas di kawasan proyek pembangunan Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Beberapa bulan lalu, seorang teman kaget bukan kepalang ketika mendengar kabar proyek pembangunan apartemen Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, dihentikan untuk sementara. Keresehan teman sebelumnya diperkuat dengan munculnya berita kalau Lippo Group selaku pengembang tidak lagi menjadi penguasa saham Meikarta. 

Berdasarkan laporan keuangan Meikarta pada 31 Desember 2017, sebanyak 49,999 persen kepemilikan saham perusahaan telah beralih ke investor asing bernama Peak Asia Investment Pte. Ltd (PEAK). Ternyata, di balik PEAK terdapat Hasdeen Holdings Ltd (HH), perusahaan yang didirikan di British Virgin Islands (BVI), yang sudah menyuntikkan modal 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,563 triliun (kurs Rp 15.200 per satu dolar AS) untuk Meikarta. Perjanjian jual beli saham itu tercatat pada 10 Maret 2017.

Teman bernama Dewi itu tiba-tiba tergiur menanamkan uangnya untuk membeli unit apartemen karena gencarnya promosi yang ditawarkan Lippo Group di berbagai pusat perbelanjaan maupun media massa. Bahkan, pada 2017, tercatat alokasi iklan Meikarta mencapai Rp 1,5 triliun, yang dipublikasikan di beberapa media cetak yang dipublikasikan beberapa halaman maupun media elektronik yang tayang selama berhari-hari.

Dewi mengaku, tertarik membeli lantaran harga unit yang dijual hanya seratusan juta. Harga murah dan nama besar perusahaan Lippo yang dijual marketing membuat Dewi ketika pulang ke Jakarta, tertarik untuk membeli unit apartemen berukuran studio. 

Pertimbangan dia, daripada uang simpanan hanya ditabung atau ditaruh di deposito, lebih baik dibelikan apartemen karena harga per tahunnya pasti mengalami peningkatan hingga puluhan persen, seperti yang tertera di brosur penjualan. Kini, Dewi semakin resah ketika ada kasus penyuapan yang dilakukan petinggi Lippo Group terkait proses perizinan Meikarta. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar suap yang dilakukan Lippo Group senilai Rp 7 miliar dari total yang dijanjikan sebesar Rp 13 miliar yang diberikan kepada Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah dan beberapa kepala dinas untuk memperlancar perizinan proyek apartemen yang ditaksir membutuhkan investasi sebesar Rp 278 triliun.

Dampak dari itu semua, saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) selaku pengembang Meikarta, yang merupakan anak perusahaan Lippo Group langsung terkoreksi tajam. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, sama LPCK anjlok hingga separuh lebih selama dua tahun terakhir. Apalagi, setelah muncul kabar KPK menggeledah rumah bos besar Lippo Group, yaitu James Riady yang diduga terlibat suap perizinan pembangunan Meikarta, membuat sahamnya terus menurun.

Pengusutan kasus itu mengundang reaksi berbagai perbankan yang selama ini sudah menyalurkan Kredit Kepemilikan Apartemen (KPA), untuk menghentikan menerima pengajuan dari nasabah baru. Khusus Bank Nasional Indonesia (BNI) yang merupakan bank plat merah telah menyalurkan KPA kepada 200 debitur dengan total kredit Rp 50 miliar. BNI merupakan satu dari 12 bank yang tercatat menyalurkan KPA kepada nasabah yang mengajukan kredit.

Direktur Ritel Banking PT BNI Tambok P Setyawati menyatakan, pihaknya sedang mengkaji ulang pembiayaan yang terkait dengan proyek Meikarta. Hal itu dilakukan guna memitigasi risiko, sebuah langkah biasa yang dilakukan perbankan. "Ke depan dengan adanya kasus ini untuk nasabah baru tidak bisa kami proses dulu sampai proses hukumnya selesai, paling tidak ada titik jelas ke mana (status proyek ini)," kata Tambak.

Dalam laman resmi Meikarta yang dilihat Republika, penjualan unit apartemen sudah ditawarkan hanya dengan Rp 2 juta sebagai booking unit. Ditampilkan pula foto-foto pembangunan apartemen dan aktivitas pekerja, serta keterangan delapan keunggulan memiliki unit di Meikarta. Selain itu, tercantum aturan maupun regulasi bagi penghuni yang dibuat pengelola apabila pembeli nantinya sudah tinggal di apartemen.

Hingga kini, proses perizinan pembangunan yang belum selesai dan malah bermasalah, semakin membuat konsumen waswas. Dewi misalnya, yang terus khawatir bakal kehilangan uangnya kalau apartemen tidak jadi dibangun. Apalagi, apartemen yang dijual itu ternyata baru dibangunan pada 2019. Dampaknya, mereka yang sudah terlanjur menyetorkan uang muka (DP) maupun cicilan per bulan, hingga membayar tunai, khawatir uangnya tak bisa kembali. 

Gara-gara gonjang-ganjing mencuatnya kelanjutan pembangunan proyek Meikarta membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan. OJK siap melakukan langkah mitigasi risiko meninjau ulang data bank penyalur KPA. Hal itu lantaran tak ada jaminan pembangunan apartemen dapat dilanjutkan. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan IV OJK Slamet Edi Purnomo mengatakan, KPA untuk proyek Meikarta sudah mencapai Rp 8 triliun, alias ada ribuan nasabah yang mengajukan kredit pembelian unit.

Kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku kontraktor Meikarta, Denny Indrayana mengatakan, pembangunan di Meikarta tetap berlanjut. Pasalnya, proses hukum suap perizinan dan pembangunan dua hal yang berbeda. 'Proses di KPK adalah hal yang terpisah dan berbeda dengan proses pembangunan yang masih berjalan di Meikarta," ujar Denny dalam siaran. Hanya saja, pernyataan itu langsung ditepis KPK, yang merasa keberatan dengan kelanjutan pembangunan apartemen, karena izinnya masih diselidiki.

Persoalannya, kalau sekarang izin pembangunan belum dimiliki LPCK, bagaimana mungkin mereka bisa memasarkan dan menjanjikan kepada konsumen jadwal penyerahan unit apartemen? Apalagi, dari 774 hektare izin yang diajukan, baru sekitar 84 hektare izin yang sudah diurus atau kurang 15 persen. Berarti pihak Meikarta seolah gambling memasarkan sebuah unit kepada masyarakat, namun belum ada kepastian kapan apartemen dibangun, karena izin belum didapat. 

Ditambah dengan para petinggi Lippo Group diciduk dan James Riyadi diperiksa penyidik KPK, membuat ketidakjelasan pembangunan unit apartemen sudah pasti merugikan konsumen. 

Langkah OJK

Belajar dari kasus Meikarta, hendaknya OJK mengingatkan atau jika perlu menindak bank yang sudah mengucurkan dana KPA kepada nasabah. Dengan adanya bank milik pemerintah daerah, swasta, hingga BUMN yang terlibat dalam penyaluran kredit pembelian apartemen Meikarta, menandakan kurangnya penerapan prinsip kehati-hatian (prudential principle) terhadap risiko yang muncul pada masa akan datang.

Bagaimana bisa, bank meloloskan pengajuan KPA untuk sebuah proyek yang izinnya belum lengkap dan cenderung bermasalah. Apakah berarti pihak perbankan dalam bekerja selama ini, menyetujui penyaluran kredit didasarkan hanya melihat gembar-gembor proyek megah dan gencarnya pemasangan iklan di mana-mana?

Kenyataannya sekarang, bank-bank yang terdata di OJK menyalurkan KPA ke Meikarta berusaha menghentikannya ketika ada masalah. Bahkan, Bank Tabungan Negara (BTN) yang menurut OJK ikut mengucurkan fasilitas kredit membantahnya. Uniknya lagi, tiga bank terbesar di Indonesia, dua bank plat merah (BRI dan Mandiri) dan bank swasta (BCA) ternyata tidak tergiur untuk mengucurkan pembiayaan bagi calon pembeli apartemen Meikarta. 

Kini, saatnya bagi OJK untuk membuka kembali aturan main bagi perbankan yang terlibat penyaluran kredit apartemen Meikarta. Dengan kondisi berbagai pelanggan yang dilakukan Lippo Group dalam pengurusan izin hingga tersandung kasus membuat pembangunan proyek itu sangat berpotensi bermasalah. Kalau tidak terlunta-lunta, kemungkinan besar apartemen yang dibangun bisa molor bertahun-tahun. 

Apabila hal itu terjadi, misalnya proyek mangkrak, lagi-lagi konsumen yang dijanjikan bisa menempati unit pada tahun tertentu menjadi korban. Mereka sudah taat membayar sesuai aturan, namun haknya untuk mendapatkan apartemen tak kunjung diberikan. OJK harus bertindak tegas agar perbankan tidak lagi merugikan hanya memikirkan banyak-banyakan penyaluran kredit, namun mengabaikan risiko yang muncul di kemudian hari, yang ujungnya merugikan nasabah.

Di sinilah dinantikan peran OJK yang harus secara bijak mengambil sebuah keputusan tepat, yang harus memenuhi rasa keadilan konsumen, perbankan, maupun pengembang Meikarta. Karena saat ini, ada ribuan orang yang terus khawatir dengan kepastian pembangunan apartemen Meikarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement