REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia Ignatius Untung menilai skema layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi atau disebut equity crowd funding yang tengah digodok OJK akan diminati perusahaan rintisan (start up). Tapi, jika dilihat dari sisi calon investor, skema ini terbilang memiliki sisi yang cocok dan tidak cocok.
Untung menjelaskan, skema equity crowd funding cocok untuk perusahaan yang menjual produk langsung pakai. Misalnya, di Amerika Serikat, sudah ada produk powerbank untuk laptop yang masuk ke platform crowd funding untuk menawarkan secara independen. "Kalau produk langsung pakai ini, investor bisa melihat model businessnya seperti apa, profitnya akan sejauh mana," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (22/10).
Tapi, untuk perusahaan rintisan yang menjual jasa, skema equity crowd funding dinilai Untung tidak akan cocok. Sebab, model bisnis berjalan lebih lambat. Misalnya saja perusahaan marketplace ataupun di bidang transportasi seperti Gojek.
Untung menambahkan, urun dana untuk mendapatkan modal cenderung diterapkan untuk perusahana rintisan yang struktur harganya sehat dalam artian bisnis, bukan kapabilitas. Layanan jasa sulit untuk mengaplikasikannya karena tidak langsung mendapatkan profit saat berjualan. "Misalnya, Gojek. Ketika dia hanya mengangkut satu penumpang, kita belum bisa hitung untungnya. Skala bisnisnya harus besar dulu untuk menghitung profit," ujarnya.
Untung menjelaskan, sistem urun dana sendiri sebenarnya sudah diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yakni Investree dan Akseleran. Mereka mencari perusahaan atau pengusaha yang belum bisa membiayai suatu proyek. Contohnya, mereka mendapatkan kerjaan syuting iklan, tapi belum ada modal untuk melakukan produksi.
Saat mengalami kesulitan, pengusaha dapat masuk ke Investree dan Akseleran dengan membawa purchase order (PO). Mereka juga harus menyertakan dokumen yang membuktikan bahwa proyek itu ada dan akan mendapatkan profit. "Investree atau Akseleran menjadi perantara ke pihak yang mau membiayai proyek pengusaha tersebut dengan jaminan sekian dan margin keuntungan sekian," tutur Untung.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Tech Startup Indonesia (Atsindo) Handito Joewono menilai, skema equity crowd funding akan sulit diterapkan di ekosistem perusahaan rintisan Indonesia. Sebab, budaya yang dimiliki ‘desainer’ korporasi ini adalah memiliki ego tinggi. "Budaya ini menyebabkan sulitnya menerapkan sistem crowd funding," ucapnya.
Sebagai sebuah rencana kebijakan, Handito menjelaskan, rancangan peraturan OJK mengenai equity crowd funding merupakan hal baik. Tapi, ia mengingatkan para pembuat kebijakan untuk memahami karakter pendiri perusahaan rintisan yang kebanyakan memiliki ego masih tinggi. Dampaknya, mereka akan sulit membagi-bagi saham ke investor.
Handito menganjurkan agar OJK melakukan pendekatan khusus terlebih dahulu dengan pelaku perusahaan rintisan. OJK sebagai pembuat kebijakan sebaiknya memahami skema pendanaan seperti apa yang cocok untuk mereka dibandingkan equity crowd funding.
Baca juga, OJK Terbitkan Aturan Permodalan Equity Crowd Funding