Sabtu 20 Oct 2018 17:02 WIB

Peningkatan Rendemen Tambah Daya Saing Gula

Peningkatan nilai rendemen ini salah satunya dilakukan dengan efisiensi pabrik.

Pekerja sedang melakukan pekerjaan perbaikan komponen mesin giling Pabrik Gula (PG) Sragi, di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Foto: Bowo Pribadi.
Pekerja sedang melakukan pekerjaan perbaikan komponen mesin giling Pabrik Gula (PG) Sragi, di Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai peningkatan produktivitas gula nasional melalui nilai rendemen tebu diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu. Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi mengatakan hingga pertengahan 2018, tingkat ekstraksi tebu di Indonesia hanya 7,50 persen. 

Angka ini berada di bawah Filipina (9,20 persen) dan Thailand (10,70 persen). Jika ketiga negara tersebut memproduksi gula dalam jumlah yang sama, Indonesia perlu panen 22,67 persen lebih banyak dari Filipina dan 42,67 persen lebih banyak daripada Thailand.

"Sebagai contoh, jika Indonesia, Filipina, dan Thailand masing-masing perlu memproduksi satu juta ton gula, Indonesia perlu panen sekitar 13,3 juta ton tebu, sementara Filipina hanya perlu panen 10,8 juta ton dan Thailand hanya membutuhkan 9,3 juta ton," kata Hizkia.

Peningkatan nilai rendemen dapat dilakukan, salah satunya melalui efisiensi pabrik gula. Untuk itu, diperlukan upaya nyata untuk merevitalisasi pabrik gula yang ada di Indonesia. 

Pabrik gula di Indonesia umumnya sudah berusia ratusan tahun karena sudah beroperasi sejak pendudukan Belanda di Indonesia. Selain itu, petani juga butuh ketersediaan benih dan pupuk yang berkualitas baik.

Peningkatan nilai rendemen ini sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula petani lokal. Walaupun harga serapan Bulog sudah ditetapkan di angka Rp 9.700 per kilogram, rendahnya nilai rendemen ini diduga menjadi penyebab gula petani lokal sulit terserap. 

Di sisi lain, jika Bulog tidak mau membeli, dikhawatirkan ini jugalah yang menjadi pertimbangan industri komersial untuk tidak membelinya juga. Walaupun demikian, Hizkia juga mengungkapkan kemungkinan lainnya.

"Kita perlu melihat masalah ini dari perspektif bisnis. Kemungkinan lainnya mengapa para petani tidak dapat menjual panen tebu mereka, mungkin karena saat ini terdapat banyak stok gula di pasar, sehingga pabrik-pabrik penggilingan gula berpikir bahwa mereka tidak perlu memasok pasar dengan gula lagi, sehingga mereka menolak untuk membeli tebu petani dan karena itu Bulog tidak dapat membeli gula dari pabrik," urainya.

Namun, hal ini hanya bisa terealisasi jika harga gula Indonesia rendah. Rata-rata harga gula kristal putih nasional pada Agustus 2018 mencapai Rp 12.386 per kilogram, yang berarti hampir tiga kali lipat harga dunia yang sebesar Rp 4.591,48 per kilogram pada periode yang sama. 

Baca juga, APTRI Apresiasi Serapan Gula Bulog

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement