Jumat 19 Oct 2018 03:49 WIB

Kisah Petani 'Berdasi': Jagung tak Bikin Jantungan

Jagung itu mirip kelapa, semuanya dapat diolah dan dimanfaatkan

Pengusaha jagung Dean Novel.
Foto: ist
Pengusaha jagung Dean Novel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jagung pakan belakangan banyak dicari, mulai dari kalangan peternak ayam layer (petelur) hingga industri pakan ternak. Tanaman serealia yang berwarna spesifik, berbeda dengan jagung manis (hortikultura) ini, memang merupakan salah satu bahan utama pakan ternak ayam.

Ini salah satu sebab mengapa Dean Novel, seorang penyandang gelar pascasarjana sebuah kampus swasta di Ibu Kota, memilih menjadikan jagung pakan sebagai ladang usahanya. Petani 'berdasi' berusia 44 tahun yang sangat jarang mengenakan dasi ini, dikenal banyak orang di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Masyarakat mengenalnya sebagai agripreneur atau pengusaha jagung. Lahan yang dikelolanya lumayan luas mencapai 7.000 hektare (ha).

Dean berkisah berkat keuletannya mempelajari dan mencoba beragam komoditi, ia mengenali dengan baik karakter dan potensi pasar komoditas bahan pangan. Beras misalnya, pasarnya konsumen dan Bulog. Kalau pasarnya konsumen kita menjualnya retail. Sementara kalau mau yang partai besar lewat Bulog, tetapi terkendala Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

“Sebaliknya, jagung tidak begitu. Jagung justru tidak retail tetapi pasarnya industri. Itu yang menarik”, ujar Dean.

Dean mengaku sudah mencoba setidaknya tujuh komoditi. Mulai dari kakao, kopi, rempah dan rumput laut. Dari semuanya, ia membuktikan jagung yang paling stabil, risikonya bisa diukur dibandingkan komoditi lain, dan pasarnya masih sangat luas.

“Sambil merem saja jagung menghasilkan. Tidak jantungan. Kopi jantungan, kakao jantungan, rempah dan rumput laut apalagi bikin jantungan. Rempah kalau harganya naik ampun-ampunan naiknya. Tetapi kalau jatuh bisa ampun-ampunan juga dan bisa sampai bangkrut”, jelasnya.

Alasan lainnya adalah, karena saat memulai usahanya impor jagung sangat tinggi. Selama sepuluh tahun terakhir rata-rata impor jagung Indonesia itu mencapai 3 juta ton. Menanam jagung juga lebih mudah dan lebih murah, tidak sampai separuh modal menanam padi.

“Padi minimal sekali tanam kita harus mengeluarkan dana Rp 12 juta. Sedangkan menanam jagung cukup Rp 5 juta per ha dalam semusim, dan hasilnya sampai 10 ton per ha”, jelasnya.

Limbah jagung pun luar biasa dahsyat. Daun kering dan batangnya dapat diolah menjadi silase (pakan berkadar air tinggi). Bongkolnya diolah menjadi pakan ternak berprotein tinggi lewat fermentasi. Dan tentu jagung pipilannya menjadi bahan utama pakan ternak.

“Jagung itu mirip kelapa, semuanya dapat diolah dan dimanfaatkan. Cuma bedanya kelapa tanaman tahunan sehingga tahan napasnya terlalu lama. Sementara jagung tanaman semusim, jadi bisa cash flow”, terangnya lagi.

photo
Petani menata jagung usai dipanen. (ilustrasi)

Ramai-ramai tanam jagung

Dari segi ekonomi jagung pakan sebelumnya bukanlah komoditas yang menarik. Semangat petani menanam jagung mulai terdongkrak sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah (HPP). Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman pernah menjelaskan, harga jagung sebelumnya dibanderol Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram (kg).

Nilai itu dinilai terlalu rendah hingga bisa merugikan para petani jagung. "Jadi langsung keluarkan pepres itu harganya Rp 3.150 per kg sehingga orang bertani produksi naik 3-4 juta ton", ungkap Amran.

Saking antusiasnya menanam jagung karena harga jual tinggi, hampir semua lahan kosong ditanami jagung. Ada yang memanfaatkan pinggiran jalan seperti di Lampung, pematang sawah, pegunungan seperti di Jeneponto, Sulawesi Selatan.

"Bahkan kuburan pun ditanami jagung, itu di Yogyakarta. Jadi, petani itu tak usah disuruh-suruh asal komoditas itu menguntungkan pasti mereka tanam," katanya lagi.

Untuk sementara ini fokus Dean masih sebatas memenuhi industri pakan ternak Jawa Timur. “Sampai sekarang masih kewalahan karena permintaannya masih sangat tinggi”, ujarnya.

Berkat ketekunannya Dean kini juga menjadi konsultan Pemerintah Daerah untuk pertanaman jagung di Sulu, Halmahera, dan NTT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement