Rabu 17 Oct 2018 18:19 WIB

Kurs Rupiah Diprediksi Sulit Kembali ke Bawah Rp 15 Ribu

Ketidakpastian global diperkirakan berlanjut hingga 2019.

Red: Nur Aini
Ilustrasi Rupiah Melemah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Rupiah Melemah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Agustinus Prasetyantoko menilai level Rp 15 ribuan per dolar AS saat ini merupakan titik keseimbangan (ekuilibrium) baru yang mencerminkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia.

Menurut dia, rupiah akan sulit kembali menguat mengingat ketidakpastian global yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga 2019. Sehingga arus modal asing yang masuk ke Tanah Air tidak akan sederas tahun-tahun sebelumnya dan likuiditas cenderung ketat.

"Dengan pasokan dan likuiditas yang terbatas, kita tidak akan kembali ke Rp 13 ribu atau Rp 14 ribu. Rp 15 ribu inilah titik keseimbangan baru buat rupiah kita," ujarnya yang juga Rektor Universitas Katolik Atma Jaya itu.

Menurut Prasetyantoko, kendati ketidakpastian ekonomi global masih membayangi ekonomi Indonesia dari sisi eksternal, namun pelemahan rupiah diyakininya tidak akan terjadi lebih dalam lagi. Ia mengenang kondisi ekonomi menjelang tahun politik pada 2013 lalu dengan rupiah juga sempat tertekan, namun kemudian dapat kembali bangkit setelah ada kepastian pemenang pemilu.

"Kira-kira situasinya mirip dan kita dapat take off dari situasi itu. Tampaknya kita tidak perlu terlalu worry, mungkin rupiah akan melemah sedikit tapi melemah tajam rasanya tidak," katanya.

Prasetyantoko menambahkan, dalam jangka pendek, langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sudah tepat untuk meredam gejolak terhadap rupiah. Suku bunga BI diperkirakan akan kembali dinaikkan apabila Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve kembali menaikkan suku bunganya.

Kendati demikian, kata Prasetyantoko, dalam jangka menengah panjang kinerja ekspor harus dapat diperbaiki sehingga defisit transaksi berjalan dapat ditekan dan nilai tukar pun dapat lebih tahan dari gejolak eksternal. "Secara strategis struktural, problem domestik kita yaitu impor lebih besar dari ekspor. Jangka menengah, ekspor harus didorong sehingga bisa melebihi impor dan kita terbebas dari situasi defisit transaksi berjalan seperti sekarang ini," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Grup Surveillans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto mengatakan, fenomena super dolar memang memberikan tekanan terhadap nilai tukar di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Pelemahan rupiah tidak lepas dari normalisasi kebijakan The Fed dan ketegangan perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara yang diperkirakan masih akan terus berlanjut.

Walaupun begitu, upaya pemerintah melakukan reformasi seperti realokasi subsidi BBM, menggenjot pembangunan infrastruktur, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, diapresiasi oleh pasar.

"Dengan kondisi yang di-trigger oleh hal-hal tersebut, semoga Rp 15.200-Rp 15.300 itu adalah suatu ekuilibrium baru," ujar Dody.

Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu (17/10) mencapai Rp 15.178 per dolar AS atau menguat dibandingkan hari sebelumnya Rp 15.206 per dolar AS.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement