Selasa 16 Oct 2018 18:39 WIB

Defisit Perdagangan Buah RI Capai 35,6 Juta Dolar AS

Lonjakan impor buah Indonesia terkait dengan kebijakan karantina dari pemerintah.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Friska Yolanda
Pedagang menata buah di Pasar Jatinegara, Jakarta, Selasa (30/11). Buah impor hingga kini masih mendominasi pasar di Indonesia, dimana volume impor buah tahun 2015 mencapai 344.221 ton dengan nilai impor sebesar 543,83 juta AS sementara volume ekspor buah
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pedagang menata buah di Pasar Jatinegara, Jakarta, Selasa (30/11). Buah impor hingga kini masih mendominasi pasar di Indonesia, dimana volume impor buah tahun 2015 mencapai 344.221 ton dengan nilai impor sebesar 543,83 juta AS sementara volume ekspor buah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja perdagangan buah-buahan Indonesia belum menunjukkan capaian positif pada September 2018. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perdagangan buah mencatat defisit sebesar 35,6 juta dolar AS. 

Ekspor buah-buahan pada September 2018 sebesar 70,1 juta dolar AS atau tumbuh 14,38 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sementara, impor pada September 2018 mencapai 105,7 dolar AS atau melonjak 66,46 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Secara kumulatif Januari hingga September 2018, data perdagangan buah juga belum memberikan kabar positif. Ekspor buah selama Januari hingga September 2018 mencapai 587,1 juta dolar AS sementara impornya mencapai 908,5 juta dolar AS. Artinya, terjadi defisit sebesar 321,4 juta dolar AS selama 2018. 

Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, lonjakan impor buah Indonesia terkait dengan kebijakan karantina dari pemerintah. Dia menjelaskan, saat ini pemerintah melonggarkan aturan impor produk pangan segar di Indonesia. Sebelumnya, kata Andreas, seluruh produk pangan segar termasuk buah harus melalui proses pengujian untuk mengetahui kandungan logam berat maupun pestisidanya.  

"Lalu, kita ubah aturannya sehingga saat ini hanya diperlukan pernyataan hasil analisis lab dari negara pengekspor. Itu dampaknya signifikan sehingga impor jadi makin deras," kata Dwi ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (16/10). 

Sementara, terkait ekspor, Indonesia justru menghadapi tantangan perang dagang AS-Cina. Dengan adanya kebijakan menaikkan tarif impor untuk produk tertentu yang dilakukan dua negara tersebut, Indonesia pun ikut terdampak. 

"Apalagi pertanian kita memang ekspornya besar ke Cina, Jepang, dan AS," katanya. 

Gabungan faktor tersebut kemudian menyebabkan defisit pada perdagangan buah di Indonesia. Hal itu karena eksportir Indonesia mendapat tantangan perang dagang sementara negara lain mudah memasukkan produknya ke Tanah Air.

Dwi menyarankan, pemerintah perlu membenahi aturan terutama dengan mengembalikan aturan pengujian untuk impor produk bahan pangan segar. Menurutnya, hal itu adalah kebijakan yang banyak diterapkan di negara lain dan juga bisa melindungi konsumen. 

"Tentunya ini juga bisa menghambat impor lewat pendekatan nontarif," katanya. 

Baca juga, BPS: Impor Indonesia Turun 12,18 Persen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement