Senin 08 Oct 2018 12:35 WIB

BI: Sulit Memprediksi Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Pelemahan rupiah yang terus berlanjut akan berpengaruh pada inflasi komponen impor

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nidia Zuraya
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS. ilustrasi
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus berlanjut. Pada pembukaan perdagangan Senin (8/10), berdasarkan kurs JISDOR Bank Indonesia, rupiah dibuka melemah 11 poin atau 0,07 persen ke posisi Rp 15.193 per dolar AS.

Menurut Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah, sangat sulit memprediksi arah pergerakan nilai tukar karena sangat dipengaruhi dinamika global. "Dinamika global tersebut yang akan mempengaruhi pergerakan arus modal portfolio, yang pada akhirnya mempengaruhi supply demand valas," ujar Nanang Hendarsah kepada Republika.co.id, Senin (8/10).

Untuk itu, ia tidak bisa memastikan kapan rupiah akan mulai stabil. Namun, kata Nanang, pelemahan rupiah yang terus berlanjut akan berpengaruh pada inflasi dari komponen impor.

Kendati begitu, sambung Nanang, saat ini anjloknya nilai tukar rupiah belum berdampak signifikan pada inflasi. Hal ini tercermin dari terjadinya deflasi sebesar 0,18 persen pada bulan September 2018 di 82 kota.

Secara year on year pun tingkat inflasi September 2018 hanya 2,88 persen, lebih rendah dari September 2017. "Mungkin yang sedikit mengalami kenaikkan adalah produk elektronik,"katanya.

Menurut Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada, pergerakan rupiah masih mengalami pelemahan seiring belum adanya sentimen positif dari dalam negeri. Masih adanya kekhawatiran akan kembali meningkatnya laju dolar AS seiring dengan adanya sejumlah data-data AS yang akan dirilis membuat pelaku pasar mengambil posisi kembali pada dolar AS.

Tidak hanya itu, kenaikan harga minyak mentah dunia dan kembali turunnya cadangan devisa turut memicu pelemahan laju rupiah. Adanya penilaian terhadap Indonesia sebagai negara nett impor minyak, Indonesia dinilai lebih banyak memerlukan dolar AS sehingga akan menggerus devisa semakin banyak.

"Bahkan dengan adanya konsekuensi penurunan cadangan devisa dan potensi meningkatnya defisit transaksi berjalan membuat Indonesia dikhawatirkan akan bernasib seperti Turki dan Argentina yang mengalami krisis karena defisitnya tidak baik," jelas Reza.

Adapun harga minyak mentah menjadi penyebab utama defisit pada neraca berjalan yang kian melebar. Dimana pada kuartal II-2018, defisit transaksi berjalan mencapai angka 3 persen dari PDB yaitu sebesar 8 miliar dolar AS, lebih tinggi dibanding dengan kuartal sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS atau 2,2 persen dari PDB.

Ia memperkirakan rupiah pada hari ini akan bergerak di kisaran 15.182-15.169. Pergerakan rupiah yang berkurang pelemahannya diharapkan dapat kembali terjadi sehingga membuat rupiah memiliki jeda untuk kembali rebound.

"Paling tidak, pelemahan menjadi terbatas mengingat pergerakan rupiah yang telah berada di area oversoldnya," ujar Reza.

Di sisi lain, pergerakan dolar AS pun terlihat melambat setelah dirilisnya angka pertumbuhan gaji (nonfarm payrolls) AS yang naik di bawah ekspektasi. Diharapkan rilis tersebut dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement