REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menjelaskan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang menyentuh Rp 15 ribu pasti berdampak terhadap margin profit industri makanan dan minuman. Menurut Adhi, kondisi ini akan berpengaruh terhadap margin profit sekitar tiga sampai lima persen.
Angka pastinya tergantung dari tingkat penggunaan bahan baku impor dari masing-masing perusahaan. "Semakin tinggi produk impor, pengaruhnya semakin besar," ujarnya saat ditemui ketika ditemui di acara Pameran Food Ingredients Asia 2018 di Kemayoran, Jakarta, Rabu (3/10).
Adhi mengatakan, untuk sementara, industri makanan dan minuman tidak akan menaikkan harga jual. Tujuannya, agar tingkat permintaan terhadap komoditas tetap stabil dan daya beli masyarakat tetap terjangkau. Hal ini dilakukan meski penahanan harga akan berdampak terhadap pengurangan margin profit perusahaan.
Tapi, Adhi tidak yakin apabila pelaku industri kecil dan menengah (IKM) dapat menerapkan ketentuan yang sama. Sebab, pelemahan rupiah akan lebih mempengaruhi modal kerja mereka dibanding dengan perusahaan besar.
"Daya tahan IKM jadi rendah begitu bahan baku naik. Mau nggak mau, mereka harus naik," tuturnya.
Selain meningkatkan harga, Adhi menambahkan, pelaku IKM juga bisa melakukan opsi lain. Yakni, mengecilkan ukuran komoditas makanan ataupun minuman. IKM juga akan didorong untuk memanfaatkan sumber daya alam lebih maksimal guna mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.
Adhi berharap, sikap perusahaan besar untuk menahan harga jual di kondisi pelemahan rupiah ini dapat berdampak positif terhadap tingkat penjualan. "Hanya, yang menjadi tantangan adalah profit dari perusahaan pasti menurun," ucapnya.
Menurut Adhi, pelaku industri bersama pemerintah akan berupaya mengantisipasi dampak lebih jauh dari pelemahan rupiah. Selain memanfaatkan bahan baku lokal, bisa juga dengan mengganti kemasan yang lebih terjangkau harganya. Misal, kalau selama ini industri menggunakan kaleng, bisa diganti dengan plastik yang tetap memperhatikan kualitas.
Adhi berharap, pemerintah meningkatkan peranannya dalam mengatasi permasalahan ini. Di antaranya dalam mengkaji dan mengevaluasi aturan-aturan yang menyebabkan tambahan biaya. "Misal, mengurangi birokrasi perizinan yang memungkinkan tambahan waktu dan biaya," ujarnya.
Terkait aturan fiskal, Adhi juga berharap agar ada insentif bunga pinjaman untuk ekspor atau kredit ekspor murah. Apabila memungkinkan, tingkat bunganya sama dengan pinjaman internasional, yakni sekitar lima sampai enam persen dari yang saat ini masih 11 persen. Jika itu diberikan, otomatis dapat mendorong perusahaan untuk mengekspor.
Sementara itu, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Enny Ratnaningtyas mengatakan, pemerintah terus menggencarkan permudahan perizinan berusaha dan berinvestasi. Salah satunya dengan menggencarkan sistem online single submission (OSS) yang memungkinkan perizinan satu pintu.
Enny menjelaskan, pemerintah juga sudah memberikan kemudahan dari sisi administrasi. "Kemudian, kalau ada aturan yang dobel, itu mungkin kita bisa lebih simpelkan dan sinergikan," tuturnya.