REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asumsi nilai tukar rupiah yang disepakati pemerintah dan badan anggaran DPR RI sebesar Rp 14.500 per dolar AS dinilai realistis terhadap kondisi ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global. Hal ini sejalan dengan sejumlah intervensi moneter yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia.
Pada perdagangan spot hari ini rupiah dibuka melemah 60 poin atau 0,4 persen di level Rp 14.915 per dolar AS, berdasarkan Bloomberg. Namun, rupiah terus bergerak positif hingga Rp 14.897 per dolar AS. Sedangkan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, rupiah pada Rabu (19/9) berada di level Rp 14.896 per dolar AS, menguat tipis 12 poin atau 0,08 persen.
Analis Binaartha Sekuritas M Nafan Aji menjelaskan, upaya-upaya pemerintah dan Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dinilai cukup untuk mendorong sentimen positif terhadap rupiah. "Kalau patokan support USDIDR dari saya untuk jangka panjang adalah level 14425. Jadi saya rasa asumsi makro 2019 yang disepakati banggar dan pemerintah terkait rupiah pada level 14500 memang masih realistis," ujar Nafan Aji kepada Republika.co.id, Rabu (19/9).
Adapun langkah-langkah bank sentral seperti intervensi moneter dengan cadangan devisa, dan menaikkan suku bunga BI 7 Day Repo Rate yang diperkirakan akan naik satu kali lagi tahun ini, dapat membantu menstabilkan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor dan investasi, mengurangi impor serta menggenjot devisa dari kawasan ekonomi khusus (KEK) yakni sektor pariwisata, dinilai positif untuk meningkatkan ekonomi domestik dan menjadi sentimen positif terhadap rupiah.
"Meningkatkan ekspor dengan mempermudah pelaku industri mengekspor produk mereka. Kemudahan bisa dilakukan dengan berbagai insentif jadi ke depan akan mampu memberikan efek positif terhadap rupiah," jelasnya.
Selain itu melebarnya defisit transaksi berjalan yang menjadi tiga persen juga menjadi sentimen negatif untuk rupiah. Jika semua upaya ini dilakukan secara berkesinambungan, harapannya defisit transaksi berjalan bisa terkendali dan neraca perdagangan sampai akhir tahun dapat kembali surplus.
Dengan memulihnya posisi neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan yang lebih terkendali akan menjadi sentimen positif terhadap nilai tukar rupiah.
Sementara itu dilihat dari kondisi ekonomi global, eskalasi perang dagang yang terjadi antara AS dan Cina diyakini akan terjadi dalam jangka waktu dua tahun. Kenaikan suku bunga bank sentral AS Fed Fund Rate yang diproyeksikan dua kali pada akhir tahun ini, serta tiga kali pada tahun depan harus dapat diantisipasi oleh negara-negara berkembang.
"Upaya-upaya pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi sentimen negatif global kepada nilai tukar rupiah," kata Nafan.