Kamis 13 Sep 2018 17:15 WIB

LPS: Perbankan Siap Hadapi Gejolak Ekonomi Global

Kredit valas perbankan Indonesia relatif kecil.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
 Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta, Rabu (24/6).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sebuah stiker keikutsertaan menjadi anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tertempel di pintu masuk salah satu bank di Jakarta, Rabu (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menegaskan, perbankan dalam negeri siap hadapi gejolak perekonomian dunia. Sebab, hampir seluruh bank di Tanah Air sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit valuta asing (valas).

"Setelah krisis 1998, perbankan kita relatif baik. Bahkan dengan pengetatan pengaturan prudensial, perbankan kita cenderung bermain di dalam negeri, mereka lebih banyak salurkan kredit dalam mata uang rupiah," ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah kepada wartawan, Rabu, (12/9).

Ia menyebutkan, rata-rata bank hanya menyalurkan kredit valas sekitar 14 persen dari total kreditnya. Dengan begitu, perbankan sangat konservatif dalam memberikan kredit valas.

"Hal ini juga terlihat dari net open position mereka. Hal itu karena net open position mereka nggak pernah lebih dari 10 persen padahal maksimum yang diberikan 20 persen perbandingan antara aset valas dikurangi liabilitas valas," kata Halim.

Maka, dirinya menegaskan, kondisi perekonomian dunia tidak banyak pengaruhi kondisi perbankan Indonesia. "Mereka nggak takut karena sumber pendapatannya bukan dari valas," ucap dia.

Anggota Dewan Komisioner LPS Destry Damayanti turut menuturkan, pertumbuhan dana valas di perbankan masih sangat lambat. Pertumbuhan kredit valas pun hanya sedikit kenaikannya.

"Tapi dibandingkan sebelumnya, jauh lebih manageable karena porsi kredit valas hanya sekitar 14 persen. Kita lihat tren pertumbuhan dana valas terus alami perlambatan," jelasnya pada kesempatan serupa.

Menurutnya, ada sesuatu yang tidak tepat sehingga menyebabkan perlambatan tersebut. "Jadi bunga di luar negeri mulai naik sementara kita belum naikkan suku bunga. Bank-bank pun begitu, jadi saya rasa kita harus naikkan bunga valas lebih agresif saat ini," kata Destry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement