REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro menuturkan, dampak pelemahan rupiah terhadap utang BUMN sulit untuk dilihat secara umum. Sebab, tidak semua BUMN memiliki eksposur utang dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS). Salah satunya karena BUMN melakukan hedging.
Aloysius tidak menampik nilai tukar rupiah dapat berdampak terhadap penekanan kinerja keuangan sejumlah BUMN. Khususnya, korporasi pelat merah yang mengimpor bahan baku dan utang dalam dolar AS. "Tapi, untuk dampak pastinya, bisa langsung ke masing-masing BUMN, PGN, PLN atau Pertamina," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/9).
Aloysius menuturkan, kemungkinan pelemahan rupiah tidak akan berdampak signifikan terhadap BUMN. Terlebih, beberapa di antaranya sudah melakukan hedging atau lindung nilai atas utangnya. Hanya saja, ia belum mengetahui berapa banyak BUMN yang sudah hedging dan nominalnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani menjelaskan, pelemahan rupiah hanya akan berdampak besar terhadap pengusaha yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS. Tapi, ia menilainya, utang luar negeri masih dalam tahap terkendali, termasuk dengan adanya pelemahan rupiah terhadap dolar kini.
"Masing-masing pengusaha sudah memiliki cara internalnya untuk mengantisipasi ini," ujar Shinta.
Shinta mengakui, saat ini, kondisi perekonomian global masih belum stabil yang berdampak terhadap pelemahan rupiah. Melakukan lindung nilai utang valas dapat menjadi sebuah solusi untuk menghindari rugi kurs.
Diketahui, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II 2018 tumbuh melambat. ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2018 tercatat sebesar 355,7 miliar dolar AS, terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 179,7 miliar dolar AS, serta utang swasta sebesar 176,0 miliar dolar AS.
ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2018 tersebut tercatat tumbuh 5,5 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang mencapai 8,9 persen (yoy). Perlambatan pertumbuhan ULN tersebut bersumber dari melambatnya pertumbuhan ULN baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta.