Jumat 31 Aug 2018 06:48 WIB

Adaro Jajaki Pengembangan EBT

Potensi energi baru terbarukan di Indonesia masih cukup besar.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Petugas memeriksa panel surya (Solar Cell) di gedung ESDM, Jakarta, Rabu (2/3).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Petugas memeriksa panel surya (Solar Cell) di gedung ESDM, Jakarta, Rabu (2/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Adaro Power berkomitmen untuk turut mengembangkan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Adaro memulai langkah energi terbarukan ini dengan membuat solar cell dengan kapasitas 100 kilovolt (KV). Meski masih dikonsumsi sendiri, Adaro menilai langkah ini menjadi salah satu langkah pertama Adaro untuk bisa mengembangkan EBT.

Presiden Direktur Adaro Power, Muhammad Effendi menjelaskan langkah ini sebagai salah satu langkah pengembangan bisnis Adaro. PLN misalnya dalam proyek 35 ribu megawatt, 2 megawatt di antaranya bersumber dari pembangkit EBT. Hal ini dinilai Effendi dapat dikembangkan Adaro dan menjadi bagian dari proses rersebut.

"Ini kesempatan kami untuk ikut kembangkan EBT juga. Karena baik pemerintah maupun PLN juga bergerak ke arah sana," ujar Effendi di Balai Kartini, Kamis (30/8).

Effendi menjelaskan pengembangan solar cell di tambang Adaro selain juga untuk ikut meningkatkan bauran energi, juga untuk pembelajaran. Effendi mengaku, Adaro perlu memulai hal ini untuk bisa menjawab tantangan ke depan.

"Ini sebagai ajang kami belajar juga," ujar Effendi.

Selain solar cell, Adaro juga sedang menjajaki pengembangan pembangkit dari geothermal atau panas bumi dan biomassa. Meski belum bisa merinci rencana ini, namun kata Effendi Adaro sedang melakukan feasibility study terkait dua jenis EBT ini.

Dua jenis EBT ini dipilih Adaro bukan tanpa alasan. Geothermal, kata Effendi, potensinya masih besar. Selain itu, kapasitas yang dihasilkan dari pembangkit ini juga besar.

"Namun memang, secara pembangunan serta hasilnya seperti apa, jangka waktu investasinya panjang, sekitar tujuh tahun, perlu eksplorasi dll." ujar Effendi.

Potensi biomassa pun sama besarnya. Belum lagi, bahan baku yang diperlukan mudah di dapatkan seperti kayu sengon dan bambu. Hanya saja, kapasitas yang dihasilkan dari pembangkit biomassa ini tidak bisa besar.

"Jadi dia ini kecil-kecil kapasitasnya. Memang cocoknya untuk di daerah daerah remote," ujar Effendi.

Effendi juga tak menampik tantangan yang harus dihadapi Adaro dalam mengembangkan EBT. Selain dari harga bahan baku yang masih mahal, tantangan yang harus dihadapi adalah teknologi yang perlu dipelajari dan didalami secara hati hati agar bisa menghasilkan produk yang berkualitas.

"Dengan harga manufaktur yang masih mahal mengakibatkan adanya cost dari produksi yang masih tinggi. Dan ini belum masuk dalam tarif yang bisa diterima oleh PLN. Tapi kami tetap belajar dan mencoba untuk mengembangkan hal ini," ujar Effendi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement