REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Para petani tebu di Kabupaten Cirebon kecewa dengan sikap pemerintah yang kembali mengeluarkan izin impor gula mentah. Mereka pun menilai keputusan pemerintah itu akan membunuh nasib mereka dan mengancam kelangsungan pabrik gula.
"Saya nggak ngerti dengan sikap pemerintah. Saat petani sedang panen dan stok gula menumpuk, kok malah impor,’’ tukas Sekretaris Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, Haris Setiawan kepada Republika.co.id, Selasa (28/8).
Sebelumnya, Perum Bulog memperkirakan impor gula mentah (raw sugar) sudah masuk ke dalam negeri pada bulan depan. Perum Bulog melalui anak usahanya Gendhis Multi Manis menjadi salah satu perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memperoleh izin Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan jatah impor gula mentah. Bulog melalui GMM memperoleh jatah sebanyak 60.170 ton dari total jatah impor gula mentah sebanyak 111 ribu ton.
Sementara, panen/tebang tebu di Kabupaten Cirebon sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir. Saat ini, lelang gula pun sudah memasuki periode ketujuh. Sedangkan di lahan tebu, masih banyak tebu milik petani yang menunggu proses tebang.
Wawan mengakui gula petani telah dibeli Bulog dengan harga Rp 9.700 per kilogram. Hal itu sesuai dengan keputusan pemerintah. Namun, kata Wawan, untuk gula milik BUMN, tidak boleh dibeli oleh Bulog. Oleh karena itu, gula milik BUMN, dalam hal ini PG Rajawali II, hanya dibeli oleh sejumlah pedagang dengan kapasitas yang minim. Selain itu, harga jual gula milik PG Rajawali II yang dibeli oleh pedagang pun hanya di kisaran Rp 9.200 – Rp 9.300 per kilogram.
Menurut Wawan, minimnya gula yang dibeli oleh pedagang itu akhirnya membuat gula milik PG Rajawali II menumpuk di gudang pabrik gula (PG) Tersana Baru dan PG Sindanglaut, Kabupaten Cirebon. Dia memperkirakan, stok gula milik PG Rajawali II yang menumpuk di dua gudang itu ada sekitar 5.000 – 7.000 ton.
‘’Gula itu masih menumpuk, belum laku terjual,’’ kata Wawan.
Dampak dari kondisi tersebut, kata Wawan, pihak pabrik gula belum bisa membayar upah penebang tebu maupun sopir angkutan tebu hingga belasan hari. Akibatnya, para penebang maupun sopir angkutan melakukan mogok kerja.
‘’Ya akhirnya tebu tidak bisa ditebang dan pabrik gula pun kekurangan bahan baku. Jadi berdampak pada proses giling,’’ kata Wawan.
Sementara itu, kekecewaan pada sikap pemerintah yang kembali mengimpor gula juga disampaikan salah seorang petani tebu lainnya di Kabupaten Cirebon, Mae Azhar. Dia mengungkapkan, petani tebu saat ini sedang mengalami keprihatinan akibat rendahnya harga gula dan rendemen. Sedangkan biaya produksi, justru mengalami kenaikan. ‘’Sikap pemerintah itu sama saja dengan membunuh petani tebu,’’ kata Mae.
Mae mengatakan, sikap pemerintah yang kerap mengimpor gula juga akan mengancam kelangsungan pabrik gula. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan para petani tebu akan semakin banyak yang meninggalkan komoditas tersebut dan beralih pada tanaman lainnya.
‘’Jika hal itu terjadi, maka pabrik gula akan tutup karena kekurangan bahan baku setelah ditinggalkan para petaninya,’’ tutur Mae.
Mae menyebutkan, pabrik gula yang masih beroperasi di Kabupaten Cirebon kini hanya tinggal dua yakni, PG Tersana Baru dan PG Sindanglaut. Jika pemerintah terus mengabaikan nasib petani tebu dan kelangsungan pabrik gula, dia memperkirakan, pabrik gula yang kini masih beroperasi pun tak lama lagi bisa tutup.