REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR --Kebijakan Menteri Perdagangan, Enggartyasto Lukita mengimpor beras 2 juta ton tahun ini menjadi isu hangat beras. Pasalnya, impor beras sebelumnya diputuskan 1 juta ton, namun ditambah 1 juta ton sehingga total mencapai 2 juta ton.
Pro kontra atas kebijakan ini pun muncul. Pengamat ekonomi Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, swasembada beras yang digembar-gemborkan pemerintah diragukan.
Sementara itu Ketua Umum Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa memperkirakan, kebutuhan mengimpor beras berpeluang kembali terjadi tahun ini. Alasannya, berdasarkan data AB2TI, sekitar 50 persen daerah penghasil padi mengalami gangguan berupa kekeringan saat masa tanam. Bahkan ekonom INDEF Rusli Abdullah menyebut tata kelola beras tanah air terlampau buruk yang berdampak pada tingginya harga produksi.
Meski demikian, tidak semua kalangan berpandangan seperti ini. Peneliti Pusat Studi Bencana, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Koordinator Nasional Indonesia Food Watch, Pri Menix Dey menyarankan, kajian kondisi perberasan secara komprehensif. Kebijakan impor beras bisa saja diputuskan mengingat tahun ini sudah memasuki tahun politik.
“Artinya, impor beras bukan berarti produksi beras dalam negeri tidak meningkat. Jadi perlu diluruskan informasi simpang siur dan menyesatkan dari beberapa pengamat dan praktisi tentang perberasan. Ini sekaligus menanggapi pengamat dari INDEF dan peneliti dari CORE serta AB2TI,” kata Pri Menix di Bogor, Jumat (24/8).
Pria jebolan IPB ini menegaskan fakta kerja keras dan keberhasilan peningkatan produksi beras pada era pemerintahan Jokowi-JK ini patut diapresiasi. Hal itu terbukti dengan terobosan peningkatan produksi yang telah dilakukan sejak 2015 berupa rehabilitasi jaringan irigasi 3,2 juta hektar, mekanisasi 380 ribu unit alat mesin, subsidi benih dan pupuk, asuransi 1 juta hektar per tahun dan lainnya.
“Hasilnya, kemampuan produksi padi kita sangat kuat. Bukti pertama, saat 2015 terjadi El-Nina terbesar 2.95 dejarat C SST, dengan berbagai program pompanisasi, sumur dangkal, hujan buatan dan tanam di rawa lebak, telah mampu berproduksi dan hanya impor 1,5 juta ton beras,” tutur Pri Menix.
“Coba bandingkan Elnino 2015 itu tertinggi sepanjang sejarah. El-nino tertinggi sebelumnya tahun 1998 sebesar 2,53 derajat C SST, terpaksa tahun 1998-1999 impor beras sangat besar 12,1 juta ton,” sambungnya.
Menurut Pri Menix, jika 2015 tidak ada Program Upaya Khusus peningkatan produksi padi, dengan penduduk 2015 sebesar 255 juta jiwa, kondisi iklim lebih parah dari 1998 dengan jumlah penduduk 201 juta jiwa, dipastikan saat 2015 impor beras 16,8 juta ton.
“Jangan dilupakan lah, Ini kan bukti prestasi produksi saat iklim paling ekstrim. Masa menilai persoalan beras hanya menggunakan kaca mata kuda, satu arah. Parahnya menurut data sendiri, bukan fakta secara keseluruhan,” ucapnya.
Fakta lainnya, kata Pri Menix, produksi beras lokal kuat. Pertambahan jumlah penduduk 2014 hingga 2018 sebanyak 12,8 juta jiwa. Kondisi ini membutuhkan tambahan pasokan 1,7 juta ton beras dan terbukti selama ini pasokan cukup dipenuhi dari tambahan produksi petani.
“Pada 2016, Indonesia tidak ada impor beras konsumsi, sejatinya beras masuk pada awal 2016 itu merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1, 5 juta ton tahun 2015. Kita bisa cek kode HS data BPS untuk beras impor sejak 2016 sampe 2017, terlihat secara terang benderang jenis yang diimpor, berupa gabah untuk benih, beras pecah atau menir dan beras ketan yang merupakan beras khusus. Memang benar 2017 ada impor 305 ribu ton adalah beras menir untuk industri, menir tidak dikonsumsi,” ujarnya.
Berdasarkan hal itu, menurut Pri, sudah cukup menjelaskan produksi beras 2015 hingga 2018 mencukupi berlebih dan meningkat dari tahun ke tahun maka tidak perlu impor. Indikator pasokan beras cukup juga dapat dilihat dari indikator stok beras di pasar. Data stok beras harian di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) selalu di atas 40 ribu ton, ini 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan stock harian 3-4 tahun yang lalu. Artinya beras di pasaran cukup dan aman aman saja.
“Demikian pula indikator harga beras baik di tingkat petani dan di eceran tidak ada gejolak berarti. Data trend harga tidak ada yang mengkawatirkan,” tuturnya.
Selanjutnya stok beras Bulog per 10 Agustus 2018 sebesar 2,1 juta ton beras dan dipastikan hari ini bertambah lagi dari serap beras petani. Stok Bulog akan bertambah hingga September 2018 seiring dengan serap beras petani 500 ribu ton.
“Ini artinya bila akan ditambah impor 1 juta ton dengan dalih untuk cadangan pemerintah kan ga wajar. Beras impor untuk apa dan mau disimpan dimana?. Saat ini pun gudang penuh. Kapasitas gudang efektif paling 2,6 juta ton beras,” ungkap Menix.
Jadi, Pri Menix menegaska apabila dipaksakan impor tambahan 1 juta ton lagi, dipastikan mubajir dan ujung-ujungnya akan menekan harga gabah petani sehingga gairah bertani menurun. Karena itu, kebijakan impor beras ini mesti diaudit. Pasalnya, kebijakan Menteri Perdadangan tidak sinergi dan selalu bertolak belakang dengan gerakan Mentan Amran bersama jajarannya yang selalu di lapangan menggerakkan tanam padi dan memacu produksi.
“Bila ada beberapa pengamat yang masih memutar-balikkan informasi, tentunya bisa diragukan independensinya dan mudah mudahan bukan merupakan bagian dari mafia beras,” tegasnya.