Rabu 22 Aug 2018 18:54 WIB

Pemerintah Didesak Terus Naikkan Cukai Rokok

Dampak rokok mencapai Rp 235,4 triliun sementara nilai cukai Rp 108,4 triliun di 2013

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengunjung memperlihatkan tulisan dukungan tampa rokok saat pameran seni instalasi karya seniman nasional Ika Vantiani dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang digelar Pemerintah Kota Bandung, di Taman Film, Kota Bandung, Ahad (27/5).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Pengunjung memperlihatkan tulisan dukungan tampa rokok saat pameran seni instalasi karya seniman nasional Ika Vantiani dalam rangka memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang digelar Pemerintah Kota Bandung, di Taman Film, Kota Bandung, Ahad (27/5).

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Tiga organisasi di bawah naungan Muhammadiyah meminta pemerintah segera menaikkan tarif cukai rokok. Tiga organisasi tersebut, antara lain, Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MTCC UMY), Muhammadiyah Economic Team (MET), serta Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM). 

Ketua Umum PP IPM, Velandani Prakoso, berharap apabila harga rokok naik, daya beli masyarakat  terhadap produk tembakau tersebut dapat ditekan. Hal ini mengingat konsumsi tembakau di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 30 tahun terakhir ini.

“Harga rokok yang relatif murah, membuat mudahnya anak-anak membeli rokok. Terlebih lagi kebebasan menjual rokok eceran atau batangan serta penjualan rokok di warung-warung di dekat sekolah,” kata Velandani Prakoso dalam konferensi pers, Selasa (21/8).

Ia meyakini, akses yang begitu mudah terhadap rokok menjadi ancaman serius bagi upaya kesehatan publik di Indonesia. Terutama, anak-anak yang menjadi generasi emas masa depan bangsa.

Praktisi Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Global MTCC UMY, dr April Imam Prabowo DTM & H MFM (Clin), menambahkan, ia sangat prihatin ramainya pemberitaan fenomena bayi perokok di Indonesia, yaitu RAP, bayi berusia dua setengah tahun asal Sukabumi yang kecanduan merokok. Dia mengatakan, ini bukan kasus yang pertama. 

Pada 2010 hal serupa terjadi, yaitu AR, bayi berusia dua tahun di Banyuasin, Sumatra, membuat Indonesia dijuluki Baby Smoker Country. “Di tahun 2018 ini, kita melanggengkan julukan tersebut,” ujarnya. Berdasarkan data, jumlah perokok pemula usia 15-19 tahun terus meningkat dari tahun 2001-2016, yaitu dari 12,7 persen  menjadi 23,1 persen. Sedangkan, remaja laki-laki perokok berjumlah hingga lebih dari separuh (54,8 persen) dari total perokok di Indonesia.

Mengenai kerugian akibat rokok dari sisi ekonomi, pakar ekonomi MET, Diah Setyawati, menjelaskan, secara ekonomi mikro inilah yang disebut “lingkaran setan kemiskinan”. Artinya, keadaan keluarga menjadi tetap miskin dan menjadi lebih miskin. 

“Maka, lingkaran setan kemiskinan yang diakibatkan dari kecanduan rokok ini harus dicegah secara masif. Di sisi ekonomi makro, bonus demografi Indonesia akan gagal di tahun 2025 karena produktivitas tenaga kerja Indonesia semakin memburuk,” katanya menjelaskan.

Menurut dia, diperkirakan total biaya karena dampak hilangnya produktivitas di Indonesia adalah sekitar Rp 235,4 triliun. Sedangkan, total nilai cukai rokok Indonesia tahun 2013 hanya Rp 108,4 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement