Selasa 14 Aug 2018 18:34 WIB

Sri Mulyani: Kondisi Ekonomi Indonesia Berbeda dengan Turki

Kondisi perekonomian Indonesia dinilai positif dan inflasi stabil.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Nur Aini
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat terbatas terkait strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/8).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) mengikuti rapat terbatas terkait strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kondisi perekonomian Indonesia berbeda dengan kondisi di Turki yang saat ini nilai tukar mata uangnya anjlok. Menurut dia, sejumlah indikator menunjukan kondisi perekonomian Indonesia yang cukup positif dan inflasi yang stabil.

"Juga dari sisi APBN dalam kondisi yang cukup baik outlook defisit turun mendekati dua persen dan tahun depan defisit turun lagi di bawah dua persen," kata dia di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (14/8).

Ia menyebutkan kondisi Indonesia dan Turki juga berbeda dilihat dari sisi inflasi. Inflasi di Indonesia, kata dia, saat ini sebesar 3,2 persen. Sedangkan, di Turki inflasi mendekati 16 persen. "Kondisi Indonesia dengan pertumbuhan di atas lima persen dan outlook 5,2, memang Turki tumbuh lebih tinggi. Tapi inflasi kita yang 3,2 persen, di Turki kondisinya mendekati 16 persen," ujarnya.

Selain itu, Sri Mulyani juga menyebut utang luar negeri atau external debt di Turki lebih besar yakni mencapai 53,2 persen dibandingkan Indonesia yang 34,7 persen. Sedangkan, utang luar negeri sektor swasta Turki mencapai 37 persen dan Indonesia hanya 17 persen dari GDP. "Dan gross financing requirement bisa mencapai 52 billion (miliar), kita 7 billion (miliar). Ini menggambarkan perbedaan," kata Sri Mulyani.

Kendati demikian, ia menekankan Indonesia perlu mengendalikan neraca pembayaran, yakni defisit transaksi berjalan. Menteri Keuangan mengatakan, defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal I hanya sekitar dua persen dan di kuartai II mencapai tiga persen dari PDB.

Karena itu, dalam rapat terbatas ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar pemerintah mengambil langkah mengamankan neraca pembayaran, terutama dari defisit transaksi berjalan. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah yakni pengendalian impor barang konsumsi, bahan baku, dan modal yang meningkat tinggi.

"Langkah yang dilakukan pemerintah adalah pertama impor barang konsumsi, bahan baku, dan modal semua luar biasa meningkat tinggi. Ini terjadi di kuartal II ini. Dan ini kemudian menyebabkan kita melakukan tindakan tegas untuk mengendalikan," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan krisis ekonomi akibat gejolak pasar keuangan yang terjadi di Turki dikhawatirkan turut menekan rupiah.

"Memang terjadi tekanan dalam mata uang kita sehingga sempat menyentuh Rp14.600 lebih sedikit," kata Rosan dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Ia menilai tren pelemahan nilai tukar rupiah dapat membuat para pelaku usaha memikirkan potensi peningkatan biaya dana (cost of fund). Rosan juga mengatakan fluktuasi nilai tukar mata uang dapat memengaruhi pelaku usaha dalam memprediksi neraca keuangan mereka ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement