Senin 06 Aug 2018 10:39 WIB

Nilai Tukar Rupiah Menguat Tipis pada Awal Pekan

Langkah BI melalui intervensi pasar dinilai berhasil menahan fluktuasi rupiah.

Petugas menata tumpukan uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri,Jakarta, Senin (23/7).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menata tumpukan uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri,Jakarta, Senin (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi bergerak menguat sebesar delapan poin menjadi Rp 14.478 dibanding sebelumnya Rp 14.486 per dolar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail di Jakarta, Senin (6/8), mengatakan, data tenaga kerja Amerika Serikat yang melemah menahan pergerakan mata uang dolar AS di dalam negeri sehingga membuka peluang bagi rupiah terapresiasi.

"Melemahnya data tenaga kerja AS dapat menjaga pergerakan rupiah," katanya.

Ia memaparkan, data pertumbuhan upah per jam di Amerika Serikat tumbuh 2,7 persen (yoy) di bulan Juni sama dengan bulan sebelumnya. Selain itu, data Non-farm payroll di AS tumbuh melambat di bulan Juli menjadi 157 ribu dari bulan sebelumnya sebesar 248 ribu.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada menambahkan langkah Bank Indonesia di antaranya melalui intervensi di pasar valas dan di pasar Surat Berharga Negara akan menjaga fluktuasi rupiah. "Imbauan pemerintah kepada para pengusaha untuk membawa devisa hasil ekspor ke dalam negeri juga akan turut menjaga apresiasi rupiah," katanya.

Baca juga, Rupiah Kembali Melemah, Ini Penjelasan Sri Mulyani.

Ia mengatakan salah satu faktor yang juga menopang rupiah yakni aliran dana asing yang masuk ke pasar dalam negeri seiring dengan arah kebijakan suku bunga the Fed sesuai ekspektasi pasar.

Sementara itu,  Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang kuartal kedua tahun 2018 sebesar 5,1 persen. Penopang pertumbuhan hanya bersumber dari tingkat konsumsi masyarakat. Sedangkan kontribusi industri dan investasi diprediksi terhambat akibat instabilitas nilai rupiah.

 

 

 

Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, depresiasi rupiah akan memberikan efek negatif karena hingga saat ini belum menemukan titik keseimbangan. Efek negatif tersebut terutama dirasakan industri prioritas yang masih bergantung pada bahan baku impor. Industri tersebut, lanjut dia, yakni sektor makanan minuman (mamin) dan farmasi.

“Sektor mamin 70 persen bahan baku berasal dari impor dan farmasi 90 persen impor. Ada dampak yang cukup besar akibat pelemahan rupiah,” ujar Andry kepada Republika.co.id, Ahad (5/8).

Baca juga, Pertumbuhan Ekonomi Diproyeksi Lebih Tinggi.

Hingga akhir pekan lalu, Jumat (3/8), Jakarta Interbank Spot Dollar (JISDOR) Bank Indonesia mencatat, rata-rata rupiah diperdagangkan sebesar Rp 14.503 per dolar AS. Andry mengatakan, semakin lemah nilai rupiah maka kian mahal harga impor bahan baku kedua industri tersebut. Kondisi tersebut akhirnya berimbas pada melebarnya nilai impor dan memicu defisit perdagangan.

Merespons hal tersebut, pemerintah berencana untuk membatasi impor bahan baku. Andry mengatakan, kondisi sektor industri akan makin jatuh jika impor bahan baku dibatasi. Sebaiknya, pembatasan impor diarahkan pada barang-barang konsumsi yang bisa diproduksi di dalam negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement