REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Joko Widodo meminta jajarannya serius menghadapi situasi pelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi negara saat ini membutuhkan cadangan dolar.
"Saya tekankan lagi bahwa situasi negara saat ini butuh dolar. Oleh sebab itu, saya minta seluruh kementerian/lembaga betul-betul serius, tidak main-main menghadapi ini. Semua harus serius menghadapi ini," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memimpin Rapat Terbatas dengan topik "Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa" di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Dalam rapat yang dihadiri jajaran menteri kabinet, Presiden mengatakan bahwa perlu implementasi berbagai rencana yang telah dibahas sebelumnya. Presiden juga meminta persoalan itu tidak hanya terus-menerus dibahas dalam rapat, tapi minim pelaksanaan. "Saya tidak mau lagi bolak-balik rapat, bolak-balik rapat, tapi implementasi tidak berjalan baik," ujarnya.
Baca juga, Ekonomi: Rupiah Terpukul Suku Bunga AS, Minyak dan Trade War.
Pada kesempatan itu, Presiden meminta dua hal penting yang menurut dia utama dan perlu diperhatikan bersama-sama, yaitu pengendalian impor dan peningkatan ekspor.
Terkait peningkatan ekspor, Presiden menekankan perlunya ada strategi detail, termasuk produk potensial ekspor yang perlu diperkuat dan ditingkatkan volumenya.
"Dan, fokus melihat kendala yang dihadapi eksportir di negara yang jadi tujuan utama ekspor kita," katanya.
Petugas menunjukkan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)
Nilai tukar rupiah masih tertekan menyusul ketidakpastian global. Pelemahan rupiah membuat cadangan devisa tergerus.
Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS, The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.
"Suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. "Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah," kata Tony.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.
Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. "Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term," kata Tony.