Senin 30 Jul 2018 09:13 WIB

Menteri Pertanian Negara G20 Kritik Kebijakan Proteksi AS

AS sedang melancarkan perang dagang dengan Cina dan negara Uni Eropa

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Pertemuan G20, ilustrasi
Foto: G20
Pertemuan G20, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BUENOS AIRES -- Para menteri pertanian dari negara-negara anggota G20 mengkritik kebijakan proteksi yang dimulai oleh Amerika Serikat (AS). Kebijakan proteksi tersebut telah berimbas kepada sektor pertanian dan melukai petani.

Dalam sebuah pernyataan bersama yang dirilis Senin (30/7), mereka mengatakan, tindakan perdagangan proteksionisme tidak sejalan dengan atruan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka juga menegaskan komitmen untuk menghapus hambatan perdagangan.

Petani AS diperkirakan mengalami kerugian hingga 11 miliar dolar AS karena kebijakan proteksionisme dan perang dagang. Pekan lalu, administrasi Trump mengatakan, akan membayar kerugian tersebut hingga 12 miliar dolar AS.

Sekretaris Pertanian AS Sonny Perdue mengatakan, Presiden Donald Trump akan memberikan bantuan tunai langsung kepada petani dan telah mengalokasikan anggaran antara 7 miliar dolar AS hingga 8 miliar dolar AS. Bantuan tunai langsung ini rencananya akan diberikan pada awal September mendatang.

Menanggapi kebijakan bantuan tunai tersebut, Menteri Pertanian Jerman Julia Kloeckner mengatakan, para petani tidak membutuhkan bantuan itu. Hal yang paling penting bagi petani adalah perdagangan.

"Kami tidak ingin ada langkah-langkah proteksionisme sepihak, kita semua tahu apa yang terjadi jika satu orang atau negara tidak mematuhi aturan WTO dan mencoba mendapatkan manfaat bagi diri mereka sendiri melalui proteksionisme," ujar Kloeckner.

Dalam pernyataan bersama, para menteri pertanian negara-negara G20 sepakat untuk terus mereformasi aturan perdagangan pertanian di WTO. Para  menteri pertanian yang hadir dalam pertemuan G20 tersebut, negaranya mewakili 60 persen lahan pertanian dunia dan 80 persen perdagangannya yakni komoditas pangan dan pertanian.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement