Rabu 25 Jul 2018 17:15 WIB

Serikat Pekerja: Pemerintah Perlu Jaga Industri Rokok Kretek

Industri rokok kretek mengalami penurunan hingga 50 persen

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memproduksi rokok kretek.
Foto: Antara/Arief Priyono
Pekerja memproduksi rokok kretek.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu didorong menjaga industri padat karya. Selain untuk ketersediaan lapangan kerja, penjagaan itu juga demi keberlangsungan dan kepastian investasi di Indonesia.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM SPSI) Sudarto mengatakan dalam kurun waktu semibilan tahun industri rokok kretek mengalami penurunan hingga 50 persen. Pekerja yang paling berdampak adalah sektor industri rokok kretek rumahan atau sigaret kretek tangan (SKT).

Pada umumnya pekerja SKT adalah perempuan dengan pendidikan rendah. "Tidak mungkin mereka bisa bersaing dengan yang lain jika ada kesempatan kerja," ujar Sudarto, Rabu (25/7).

Pekerja Indonesia dengan karakter seperti itu, menurut Sudarto, masih banyak dan terus terancam. Bahkan, kini ancamannya bukan sekedar potensi lagi.

Perubahan karakter konsumen dan teknologi ditambah dengan kebijakan pemerintah membuat banyak industri menyesuaikan diri. Dampak penyesuaian itu lagi-lagi menyasar pekerja berketerampilan rendah.

"Solusi untuk masalah itu tidak bisa satu sisi. Harus ada penyelesaian komprehensif agar tidak terkesan ada kebijakan tambal sulam," ujar Sudarto.

Kasus penutupan ribuan pabrik SKT yang berujung PHK sedikitnya 32 ribu pelinting adalah salah satu contoh. Pabrik-pabrik gulung tikar karena multifaktor.

Perubahan regulasi pemerintah, kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor pemicu penutupan itu. "Berdasarkan cerita dari yang sudah di PHK, mereka dagang ini dagang itu, menjadi buruh cuci, itu mereka lakukan dari pada tidak kerja. Maka harus ada upaya preventif untuk melindungi industri ini," ucap Sudarto.

Anggota DPR Abdul Kadir Kading mengatakan regulasi pemerintah menekan pelaku industri SKT dari berbagai sisi. Pemerintah terus menerus mengubah kebijakan cukai sehingga industri SKT dalam kondisi dilematis.

Sebab, menaikkan produksi berarti meningkatkan porsi pembayaran cukai. Peningkatan itu akan membebani keuangan sehingga sulit dipilih.

Di sisi lain, pelaku industri SKT akan kesulitan menyediakan pasokan ke pasar jika tidak meningkatkan produksi. "Tingginya harga rokok karena tingginya cukai menyebabkan pengurangan permintaan tembakau lokal, dan juga pengurangan tenaga kerja di SKT," ucap Kadir Kading.

Kondisi itu juga menekan pelinting atau para pekerja SKT. Penghasilan mereka tergantung insentif yang dihitung dari seberapa banyak lintingan setiap hari.  Jika produsen menahan produksi, insentif mereka juga akan tertahan.

Sementara ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan dari beberapa jenis rokok, SKT memberikan value besar terhadap perekonomian Indonesia. Selama 2013-2017 jumlah penurunan SKT menurun 22,63 persen.

Penurunan SKT itu, menurut Enny, mampu mempengaruhi PDB -0,82 persen upah riil -1,24 persen, inflasi 0,41 persen, konsumsi rumah tangga -0.96 persen. "SKT perlu affirmative policy," ucapnya.

Enny lantas memberikan solusi atas penurunan SKT. Pertama, mengurangi PPh. Kedua, menyusun tarif cukai yang proposional, cukai SKT harus lebih rendah dari cukai SKM dan SPM golongan manapun.

Ketiga, fasilitas dan intensif untuk mendorong ekspor. "Serta meniadakan regulasi yang membebani industri kelas menengah kecil agar mampu berkompetisi dengan industri besar," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement