Rabu 25 Jul 2018 15:34 WIB

Asosiasi Semen Minta Pemerintah Lindungi Produsen Eksisting

Kapasitas terpasang semen yang berlebih berujung pada persaingan pasar yang ketat

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Alat berat melakukan pengambilan batu kapur sebagai bahan baku semen, di Bukit Karang Putih, Indarung, Padang, Sumatera Barat, Jumat (19/2). Semen Padang mulai menyasar sejumlah proyek infrastruktur yang sedang digarap di Sumatra dan berbagai proyek di pelosok desa yang memanfaatkan dana desa.
Foto: ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Alat berat melakukan pengambilan batu kapur sebagai bahan baku semen, di Bukit Karang Putih, Indarung, Padang, Sumatera Barat, Jumat (19/2). Semen Padang mulai menyasar sejumlah proyek infrastruktur yang sedang digarap di Sumatra dan berbagai proyek di pelosok desa yang memanfaatkan dana desa.

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso mendesak pemerintah berpihak pada produsen semen eksisting di dalam negeri. Ia menjelaskan, kapasitas terpasang semen yang berlebih berujung pada persaingan pasar yang ketat. Apalagi, utilisasi pabrik semen tak sampai 70 persen.

"Hal itu bisa dilakukan pemerintah dengan tidak mengeluarkan izin pabrik baru sampai tahun 2023. Apabila izin tetap dibuka, maka persaingan harga akan semakin tajam," ujar Widodo dalam Kongres Nasional V Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia di Padang, pekan lalu.

Tahun lalu, Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (FSP ISI) sempat mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium pembangunan pabrik semen. Kebijakan moratorium pabrik baru dianggap menjadi solusi atas terjadinya over supply di dalam negeri. Sayangnya, hingga saat ini permintaan itu belum dikabulkan pemerintah.

Director Industry Material Industrial ALL, Matthias Hartwich, mengatakan, industri semen di Indonesia kini juga menghadapi persaingan dari perusahaan Cina yang menjual produk dengan harga murah. Tak hanya itu, produsen asing tersebut juga mendapat dukungan subsidi dari pemerintah negara asal.

"Kondisi ini jelas tidak adil, dan harus diatasi oleh perusahaan-perusahaan lokal dengan dialog-dialog sosial dari serikat pekerja, manajemen perusahaan, pemerintah lokal dan multinasional," kata Matthias.

Berdasarkan data ASI, pada 2017 terdapat 15 perusahaan semen  dengan kapasitas terpasang 106,3 juta ton di Indonesia. Sementara konsumsi semen dalam negeri hanya 66 juta ton, dan ekspor 5 juta ton. Hal ini menegaskan adanya kelebihan kapasitas. Bahkan sebagian perusahaan juga terpaksa melakukan strategi dengan menurunkan harga semen, untuk memenangkan persaingan.

Direktur Utama PT Semen Padang Yosviandri menyebutkan, ganjalan terbesar saat ini adalah kelebihan pasokan semen. Angka rata-rata serapan produk semen dalam negeri hanya sekitar 66 persen dari total produksi. Kondisi ini, menurutnya, diperkirakan masih akan berlangsung sampai dengan 10 tahun mendatang.

Tantangan lainnya, banjirnya produk semen dari pabrikan asing terutama Cina. Ditambah lagi produsen semen lokal semakin terimpit dengan adanya kebijakan Permendag nomor 7 tahun 2018 tentang diperbolehkannya impor klinker dan semen ke Indonesia.

"Bareng dengan semua tantangan itu, harga batu bara dan BBM naik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar juga melemah dan  berdampak pada tingginya harga sparepart, persediaan dan peralatan impor," kata Yosviandri, Selasa (24/7).

Semua dinamika pasar tersebut memaksa Semen Padang rela mengalami penurunan laba sejak 5 tahun terakhir. Pada 2012 lalu, Semen Padang mencatatkan laba bersih sebesar Rp 927,69 miliar. Angka ini sempat meningkat pada 2013 dengan laba Rp 1,04 triliun. Sayangnya, laba perusahaan kemudian merosot pada 2014 menjadi Rp 927,61 miliar. Terus merosot  pada 2015 dengan raihan Rp 722,83 miliar, Rp 723,80 miliar pada 2016, dan Rp 498,76 miliar pada 2017 lalu.

"Kami berharap di 2018 pencapaian laba bersih bisa meningkat di atas tahun 2017," kata Yosviandri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement