REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mata uang rupiah dibuka menguat pagi ini, (25/7), pada spot perdagangan. Penguatannya sebesar 28 poin atau 0,19 persen di Rp 14.517 per dolar AS.
Rupiah sempat menguat lagi ke posisi Rp 14.515 per dolar AS. Hanya saja pada pukul 10.00 WIB rupiah kembali menyentuh level Rp 14.525 per dolar AS.
Sementara itu, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Sport Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah berada di Rp 14.515 per dolar AS. Posisi itu menguat dibandingkan kemarin, (24/7), di Rp 14.541 per dolar AS.
Analis Senior CSA Research Institue Reza Priyambada memperkirakan, rupiah hari ini akan bergerak di kisaran Rp 14.532 sampai Rp 14.494 per dolar AS. Dengan begitu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kemungkinan masih melemah.
"Langkah Bank Indonesia (BI) meredam pelemahan rupiah melalui kebijakan moneter lewat penerbitan instrumen di pasar uang dengan adanya SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Tampaknya belum banyak berimbas pada rupiah," ujarnya di Jakarta, Rabu, (25/7).
Di sisi lain, kata dia, laju rupiah masih lebih banyak merespons pergerakan mata uang global. Terutama setelah berbalik melemahnya mata uang euro dengan tekanan pada sentimen internalnya dan kurs yuan Cina seiring rencana devaluasi nilainya.
"Tetap mencermati dan mewaspadai berbagai sentimen. Khususnya dapat membuat Rupiah kembali melemah," tegas Reza.
Sebelumnya, Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.
"Suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. "Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah," kata Tony.
Baca juga, Rupiah Kembali Melemah, Ini Penjelasan Sri Mulyani.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.
Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. "Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term," kata Tony.
Terkait dengan pernyataan Trump yang tidak senang dengan kenaikan suku bunga AS sendiri, Tony pun menyatakan hal tersebut logis. Menurutnya, apabila dolar AS menguat, posisi perdagangan AS terhadap seluruh dunia termasuk Cina, akan semakin sulit. "Kita dukung Trump, kenaikan suku bunga AS yang terlalu cepat akan merepotkan Rupiah," kata Tony.