REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan oleh rencana kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS The Fed. Rupiah cenderung lebih besar tekanannya dibandingkan emerging market lain karena tekanannya tidak hanya satu.
"Suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. "Kenaikan harga minyak bikin repot pemerintah. Tahun ini minyak juga buat tekanan yang besar terhadap rupiah," kata Tony.
Baca juga, Rupiah Selasa Pagi Melemah ke Posisi Rp 14.546 Per Dolar AS.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah.
Tony menuturkan, struktur ekspor Indonesia masih belum terlalu terdiversifikasi dan masih cenderung pada ekspor sumber daya alam mentah. "Pak Jokowi masih punya PR bagaimana supaya rupiah lebih rendah volatilitasnya. Bagaimana inflow short-term jadi long-term," kata Tony.
Terkait dengan pernyataan Trump yang tidak senang dengan kenaikan suku bunga AS sendiri, Tony pun menyatakan hal tersebut logis. Menurutnya, apabila dolar AS menguat, posisi perdagangan AS terhadap seluruh dunia termasuk Cina, akan semakin sulit. "Kita dukung Trump, kenaikan suku bunga AS yang terlalu cepat akan merepotkan Rupiah," kata Tony.
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antar bank di Jakarta pada Selasa pagi sendiri bergerak melemah 64 poin menjadi Rp14.546 dibanding posisi sebelumnya Rp14.482 per dolar AS.