REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komponen impor pada produksi telur dan daging ayam membuat harga komoditas tersebut rentan bergejolak. Hal itu terjadi meskipun produksi dalam negeri telah mampu swasembada atau memenuhi kebutuhan sendiri.
Pengamat ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, komponen impor dalam produksi telur dan daging ayam di dalam negeri mencapai sekitar 60 persen. Impor itu berasal dari mulai indukan ayam atau yang biasa disebut grandparents stock, bahan baku pakan ayam, hingga vitamin yang diberikan untuk unggas.
Dari sisi pakan, Dwi menyebut perusahaan pakan unggas masih sangat bergantung pada bahan baku berupa jagung impor. Sebab, harga jagung impor jauh lebih murah dibanding jagung lokal. “Komponen impornya sangat besar, walaupun dari sisi produksi kita swasembada,” kata Dwi, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/7).
Besarnya komponen impor tersebut membuat komoditas telur dan ayam rentan mengalami gejolak harga. Hal itu terutama saat kurs rupiah sedang mengalami tekanan seperti saat ini.
Menurut Dwi, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengurangi ketergantungan akan bahan baku impor. Untuk indukan ayam, misalnya, ia meyakini peneliti di dalam negeri memiliki kapasitas untuk mengembangkan indukan ayam yang bisa tumbuh secara cepat dan efisien. Namun, dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar hasil dari pengembangan tersebut dapat diaplikasikan secara luas di dalam negeri
Cara lain, kata Dwi, yakni dengan mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat dari ayam negeri ke ayam kampung. “Pemerintah bisa memberikan subsidi untuk ayam kampung sehingga itu yang berkembang.”