REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebutkan, lebih dari 10 bank siap menyelenggarakan fasilitas lindung nilai atau hedging. BI mengimbau korporasi untuk melakukan hedging, supaya tidak terganggu dengan urusan valuta asing (valas) di tengah tertekannya kurs rupiah seperti sekarang.
"Bank-bank itu sudah siap untuk transaksi hedging Call Spread Option (CSO). Mereka sudah siap terima transaksi yang biayanya lebih murah," ujar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah saat ditemui Republika.co.id usai diskusi di Jakarta, Kamis, (12/7).
Ia menyebutkan, beberapa bank yang sudah siap menjadi penyedia hedging itu meliputi bank BUMN, bank asing, dan bank campuran. "Mereka minimal harus bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) III," tegas Nanang.
Lebih lanjut, kata dia, bank penyedia hedging tidak harus memiliki penyaluran kredit besar ke korporasi. Hanya saja, harus bank yang bisa mengelola treasury dan manajemen risikonya secara lebih memadai.
Ia menegaskan, tidak semua bank menjadi penyedia produk hedging. Pasalnya, selain harus BUKU III serta bisa mengelola risiko, kesehatan bank secara keseluruhan pun harus diperhatikan. "Terus juga, ketika jual produk (hedging) ke customer, harus betul-betul customer profesional. Misalnya dilihat dari ratingnya, dan lainnya," tuturnya.
Baca juga, Rupiah Terseok, BI Imbau Perusahaan Lakukan Hedging.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) hari ini, Kamis, (12/7), mata uang Garuda itu berada di posisi Rp 14.435 per dolar AS. Angka itu melemah dibandingkan posisi kemarin, (11/7), di Rp 14.391 per dolar AS.
Sementara, pada spot perdagangan mata uang, kurs rupiah juga dibuka melemah terhadap dolar AS. Pelemahannya sebanyak 30 poin atau 0,21 persen di level Rp 14.415 per dolar AS. Kemudian pada pukul 10.00 WIB, rupiah semakin terperosok ke zona merah. Dengan pelemahan mencapai 53 poin atau 0,37 persen ke Rp 14.438 per dolar AS.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengatakan, hampir semua negara di dunia mengalami tekanan Mata uang. Bahkan Thailand sudah menghabiskan 8 miliar dolar AS dalam tiga bulan untuk menjaga stabilitas.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai, pernyataan BI tersebut merupakan cara bank sentral mendinginkan suasana. Supaya ada sentimen positif. "Nggak apa-apa, it's okay. Indonesia kalau dibandingkan dengan Argentina memang masih lebih aman. Argentinanya mau krisis," ujar Bhima kepada Republika.co.id.
Hanya saja, kata dia, bila dibandingkan dengan Malaysia serta Singapura. Pelemahan mata uang Indonesia justru lebih dalam. Lebih lanjut, Bhima memprediksi kurs rupiah bisa terus melemah sampai akhir Juli. "Rp 14.700 per dolar AS di akhir Juli," ujarnya.