REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat keuangan dan perbankan Eko Supriyanto menilai tidak adil mencampur-adukan segala penyelesaian permasalahan Bantuan Luikiditas Bank Indonesia (BLBI) seolah-olah semuanya adalah korupsi. Padahal, pemerintah sudah membuat kebijakan pemberian insentif kepada pihak yang kooperatif dan pemberian penalti kepada obligor yang tidak kooperatif..
Apalagi, bagi pihak yang telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, pemerintah telah mengeluarkan surat release and discharge (pembebasan dan pelepasan) dari segala tuntutan hukum,” kata Eko di Jakarta, Rabu (27/6).
Menurut Eko yang juga Direktur Biro Riset Infobank, untuk memberikan kepastian hukum lantaran sudah menyelesaikan kewajiban Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), harusnya mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung tidak layak disidangkan.Saat ini, Syafruddin sedang didakwa merugikan negara Rp 4,58 triliun akibat memberikan surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim (BDNI).
Eko melanjutkan, mengacu pada penyelesaian kewajiban pemegang saham melalui MSAA dengan lima pesertanya, yakni Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), M Hassan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya), dan Ibrahim Risyad (RSI) telah menyelesaikan kewajibannya.
“Khusus untuk PKPS BDNI, BPK pada kesimpulan laporan auditnya 30 November 2006 menyatakan SKL layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam penjanjian MSAA dan perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.”
Kini, kasus BLBI sudah memasuki tahun ke 21 sejak dikucurkan pada 1997. Kasus ini menjadi menarik karena persidangan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional di Pengadilan Tipikor Jakarta. Syafruddin Temenggung didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian SKL terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu obligor BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 4,58 triliun.
Eko pun mengajak pubik menyegarkan ingatan bahwa tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan pada masa itu (1997) dilakukan dengan prinsip out of court settlement, yakni dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan skema MSAA, MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement), dan APU (Akte Pengakuan Utang). Pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati telah membuat kebijakan penyehatan perbankan. Pada masa pemerintahan Soeharto, dibentuk juga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Januari 1998.
Program rekapitalisasi perbankan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi perbankan dilakukan ketika BJ Habibie berkuasa. Lalu, di era Gus Dur terbentuklah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kepada BPPN. Pada 2000, disahkan UU Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian pinalti kepada obligor yang tidak kooperatif.
Sejak 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan, terutama terkait pengambilalihan aset-aset obligor serta penjualan aset.
“Juga ditetapkan TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas,” ujar Eko.
Dia pun melanjutkan, jangan sampai obligor yang sudah kooperatif masih diseret-seret, sementara yang tidak kooperatif masih dengan lincahnya melenggang bebas. “Jangan sampai Indonesia penuh ketidakpastian yang selalu melihat masalah krisis keuangan dan perbankan 21 tahun yang lalu dengan horizon sekarang.”
Menurut Eko, memang pahit pil dalam menyelesaikan krisis dengan BLBI. “Tapi, itulah cara agar ekonomi bisa bergerak dan sistem perbankan bisa berjalan kembali sampai sekarang,” kata dia.