REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Sentral AS The Federal Reserve telah menaikkan suku bunga acuan menjadi dua persen pada rapat FOMC Juni 2018. Hal tersebut mendorong penguatan mata uang dolar AS.
Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, mengatakan, penguatan mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju dan negara berkembang pascakeputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) mempertimbangkan perekonomian AS yang terus membaik. Hal itu tercermin dari proyeksi Fed terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2018 menjadi 2,8 persen dari proyeksi Maret.
Selain itu, Fed juga cenderung optimistis terkait indikator inflasi, yakni core personal consumption expenditures (PCE) dan PCE juga diproyeksikan lebih tinggi yakni sekitar 2,0 persen dan 2,1 persen dari sebelumnya 1,9 persen. Tingkat pengangguran juga diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
"Proyeksi yang lebih optimistis tersebut juga mencerminkan ekspektasi Fed yang lebih optimistis pada arah suku bunga acuan AS dari FOMC Maret sebelumnya," kata Josua saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (19/6).
Josua menambahkan, kenaikan suku bunga acuan AS juga diikuti meningkatnya potensi risiko dari perang dagang antara AS dan Cina. AS baru-baru ini berencana akan mengenakan tarif impor terhadap barang dari Cina yang mencapai nilai 50 miliar dolar AS setelah negosiasi antara kedua negara sebelumnya belum mencapai kesepakatan terkait perang tarif impor tersebut.
"Kedua faktor tersebut yang mendorong penguatan dolar AS dalam beberapa hari terakhir ini tercermin dari indeks dolar yang menguat sekitar 1,8 persen sejak Fed menaikkan suku bunga acuan pada Kamis lalu," ujarnya.
Meski demikian, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS (US Treasury Bond) cenderung menurun di kisaran 2,9 persen pascakenaikan suku bunga acuan AS. Hal itu mengingat Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan yang rendah sekitar nol persen hingga pertengahan 2019, lebih lama dibandingkan ekspektasi awalnya pada akhir 2018.
Nilai tukar rupiah pada pasar spot diperkirakan melemah pada awal perdagangan pascalibur Idul Fitri mengingat Non Deliverable Forward (NDF) USD/IDR satu bulan cenderung menguat satu persen dalam sepekan terakhir. Meski demikian, nilai tukar rupiah diperkirkan cenderung stabil. Sebab, Bank Indonesia sudah melakukan kebijakan pre-emptive, front loading dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada Mei 2018. Hal tersebut diharapkan dapat mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
"Selain itu, BI akan tetap berada di pasar dan akan melakukan langkah-langkah dual intervention pada pasar obligasi dan valas apabila terjadi peningkatan volatilitas di pasar keuangan dan rupiah," ujarnya.