REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menilai kondisi makro ekonomi Indonesia cukup kuat. Hal itu dinilai memberikan penyangga terhadap peningkatan volatilitas global yang sempat membuat tekanan pada nilai tukar rupiah.
"Gejolak ekonomi global telah mengakibatkan depresiasi nilai tukar rupiah. Namun, kondisi makro ekonomi Indonesia cukup kuat dibanding negara-negara lain," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves dalam peluncuran laporan Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia di Jakarta, Rabu (6/6).
Kepala ekonom Bank Dunia untuk Indonesa Frederico Gil Sander mengatakan, kondisi keuangan global yang lebih ketat dan peningkatan volatilitas berkontribusi terhadap arus modal keluar dan depresiasi nilai rupiah. Dengan adanya normalisasi kebijakan moneter AS yang diproyeksikan akan lebih cepat dari yang diperkirakan, kondisi keuangan global juga mengalami pengetatan yang lebih cepat. Hal itu mengakibatkan terjadinya volatilitas di antara negara-negara berkembang dalam beberapa bulan terakhir.
Ia mencatat, pengetatan kebijakan AS telah menyebabkan arus keluar portofolio sehingga terjadi defisit neraca pembayaran sebesar 1,5 persen dari PDB pada kuartal pertama 2018. Hal itu, ujarnya, pertama kali dalam dua tahun terakhir.
"Karena paparan Indonesia yang relatif tinggi terhadap investor portofolio asing, yang memegang 40 persen dari utang dalam negeri pemerintah Indonesia, nilai imbal hasil obligasi dan nilai rupiah mendapat tekanan," kata Frederico.
Imbal hasil obligasi Indonesia naik sebesar 21 basis poin pada kuartal pertama 2018, sementara nilai tukar rupiah mencapai nilai yang terendah dalam 31 bulan terakhir terhadap dolar Amerika Serikat. Meski begitu, ia menilai, kerangka kebijakan ekonomi makro yang sehat mampu memberikan penyangga terhadap peningkatan volatilitas global. "Belum lama ini, meskipun inflasi stabil, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga sebanyak dua kali, sebesar 25 basis poin setiapkalinya. Hal itu untuk memberi sinyal bagi komitmennya terhadap stabilitas," katanya.
Cadangan devisa yang mencapai tingkat tertinggi dan perjanjian pertukaran bilateral memungkinkan BI untuk mempertahankan nilai rupiah. Selain itu, nilai rupiah secara efektif tetap 5,3 persen lebih kuat dari pada nilai pada Januari 2014 menyusul akibat yang berkepanjangan dari apresiasi riil yang terjadi setelah peristiwa Taper Tantrum.
"Empat peningkatan peringkat kredit dalam dua belas bulan terakhir menguatkan peningkatan lingkungan ekonomi negara, manajemen fiskal, dan kelayakan kredit secara keseluruhan," kata Frederico.