Selasa 05 Jun 2018 19:46 WIB

Dradjad: Harga Akuisisi Pertagas Terlalu Murah

Nilai akuisisi yang tidak lebih dari 2.5 milyar dinilai sebagai hal yang mengagetkan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Joko Sadewo
Jaringan Pipa Gas, Pertagas (ilustrasi)
Foto: ROL/Agung Sasongko
Jaringan Pipa Gas, Pertagas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo mengatakan pernyataan pemerintah melalui Kementerian BUMN melalui Fajar Harry Sampurno bahwa nilai akuisisi Pertagas oleh PGN tidak lebih dari 2.5 milyar dolar AS sungguh mengagetkan.

"Bagaimana mungkin, Pertagas yang 100 persen milik negara melalui Pertamina dijual semurah itu ke PGN? Padahal, hampir 40 persen saham PGN (atau PGAS) dimiliki oleh investor swasta. Di sini saya anggap BPJS Ketenagakerjaan masih sebagai investor negara, dengan saham 3,42 persen," kata Dradjad dalam siaran pers yang dikirim kepada Republika.co.id, Selasa (5/6).

Mengenai harga yag terlalu murah, Dradjad menjelaskan, bahwa per tanggal 4 Juni kemarin, PE ratio PGAS sekitar 30. Karena tipe bisnisnya sama, seharusnya Pertagas juga dinilai dengan PE yang minimal sama dengan PGAS. Bahkan, harusnya lebih tinggi. Karena, Pertagas mempunyai kondisi keuangan yang lebih sehat dari PGAS.

Kata Dradjad, DE ratio Pertagas hanya 0,4, sementara PGAS sekitar 1. Keuntungan Pertagas tahun 2017 itu 141 juta dolar AS. Jika PE hanya 30, seharusnya harga Pertagas minimal 4.23 milyar dolar AS atau sekitar Rp 59,22 triliun (asumsi kurs Rp 14000/dolar AS). Ini pun, kata Dradjad, masih kerendahan karena PE Pertagas semestinya lebih tinggi dari PGAS.

Jika dijual ke PGN hanya 2.5 milyar dolar AS, menurut Dradjad, berarti minimal Pertamina dirugikan 1.73 milyar dolar AS, atau kira-kira Rp 24,22 triliun. Karena Pertamina adalah BUMN yang 100 persen milik negara, berarti secara kotor negara dirugikan kira-kira Rp 24 triliun, bahkan bisa lebih.

Hanya sekitar 60 persen dari kerugian itu yang kembali dikuasai negara, melalui kepemilikan saham Pertamina dan BPJS Ketenagakerjaan di PGN. Sisanya sebesar 40 persen x Rp 24,22 triliun = Rp 9,7 triliun berpindah dikuasai investor swasta.

Artinya, negara secara netto dirugikan minimal Rp 9,7 triliun. Di sisi lain, akuisisi ini memperkaya orang lain, yaitu investor swasta pemegang saham publik PGAS.

 

"Saya berharap Kementerian BUMN menghitung ulang agar Pertagas dihargai secara fair. Harap diingat, pejabat daerah yang menjual tanah negara di bawah harga pasar saja masuk penjara. Padahal nilainya hanya milyaran. Apalagi ini saham perusahaan yang bernilai triliunan," papar Dradjad.

Sebelumnya, Deputi bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno menjelaskan proses akuisisi pertagas ke PGN sudah hampir final. Fajar mengatakan besaran untuk integrasi kedua persuahaan tersebut tidak lebih dari 2,5 miliar dolar.

Oleh karena itu, menurut Fajar tidak perlu kembali menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).

"Enggak perlu (RUPSLB) karena jumlahnya mungkin enggak sampai segitu. Transaksinya enggak sampai dengan 2,5 miliar dolar. Makanya kalau dia di atas Rp 2,5 miliar dolar dia harus ke RUPSLB," ujar Fajar saat buka bersama di Kementerian BUMN, Senin (4/6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement