REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, implementasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sangat kuat dan sehat. Hal itu didukung oleh penerimaan pajak dan efisiensi belanja negara.
Sri menyebutkan, sampai April 2018, penerimaan pajak tumbuh 14,9 persen. Dengan rincian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik 14,1 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) badan tumbuh 23,6 persen.
"PPh badan pertumbuhannya tutup across the board merata di semua sektor. Meskipun sektor tertentu menunjukkan lebih tinggi, tapi pertumbuhan rata-rata PPh badan, apalagi setelah selesai tax amnesty, maka sektor usaha di Indonesia mengalami peningkatan," jelas Ani di Jakarta, Senin, (28/5).
Lebih lanjut, kata dia, APBN sebagai instrumen fiskal memiliki ruang yang cukup. Pemerintah akan terus menjaga agar memiliki instrumen apabila diperlukan dalam menghadapi ketidakpastian eksternal.
Hal itu, penting bagi pemerintah dan regulator agar seluruh instrumen kebijakan berjalan. Karena itu, kata Sri, kebijakan fiskal akan dilakukan secara hati-hati agar tetap efektif. Di antaranya dengan menjaga pelaksanaan APBN 2018 supaya terus kredibel.
"Dengan demikian, instrumen fiskal juga bisa diandalkan, bersama BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dalam menjaga stabilitas dari sosi pembangunan," tutur Ani.
Kementerian Keuangan, kata dia, selalu bekerja sama pula dengan seluruh menteri ekonomi untuk menjaga keinginan serta urgensi stabilitas jangka pendek. Pengelolaan fiskal dan APBN tetap dalam arah UU APBN 2018. "Kami akan terus fokus memobilisasi penerimaan negara namun tidak dengan mengganggu iklim investasi. Jadi kita terus hati-hati," katanya.
Saat ini, ia menambahkan, pemerintah sedang fokus mencari cara mendorong efisiensi belanja negara. Terutama belanja barang yang selama ini, Presiden dan Wakil Presiden menekankan Kementerian Keuangan meneliti lebih dalam terhadap belanja yang tidak efisien. "Hal itu dengan keseimbangan primer yang terus mengecil. Kami desain keseimbangan primer menuju positif dalam jangka menengah," tutur Ani.
Sebelumnya, Menko Perekonomian, menegaskan kondisi perekonomian Indonesia secara umum baik dan kuat. Tekanan pada stabilitas nilai tukar rupiah pun dinilai lebih dipengaruhi oleh meningkatnya ketetapan likuiditas dan risiko ekonomi global karena inisiatif serta berbagai perubahan kebijakan di Amerika Serikat (AS).
Menurut Darmin, pemerintah bersama regulator yakni Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan penguatan koordinasi. "Tujuannya untuk memprioritaskan stabilitas jangka pendek dengan tetap mendorong pertumbuhan pada jangka menengah," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin, (28/5).