Rabu 25 Apr 2018 16:47 WIB

Rupiah Letoi, BI Diprediksi Naikkan Suku Bunga

Pelemahan rupiah bisa mengerek inflasi dan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Teguh Firmansyah
Pengunjung melakukan penukaran mata uang asing di jasa penukaran uang Ayu Masagung, Jakarta, Senin (23/4). Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Senin (23/4), bergerak melemah 80 poin menjadi Rp13.943 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.863 per dolar AS.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Pengunjung melakukan penukaran mata uang asing di jasa penukaran uang Ayu Masagung, Jakarta, Senin (23/4). Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Senin (23/4), bergerak melemah 80 poin menjadi Rp13.943 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.863 per dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Intervensi Bank Indonesia (BI) dinilai masih belum dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. BI disebut bisa menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate pada Rapat Dewan Gubernur BI mendatang.

 

Konsultan dari Asian Development Bank Institute Eric Sugandi menilai, dalam beberapa hari ke depan, rupiah masih akan bergerak pada kisaran Rp 13.800- Rp 14 ribu per dolar AS. "Jika pelemahan rupiah ini tetap berlanjut dan tembus Rp 14.000, BI 7 Day Repo Rate bisa saja naik pada RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI berikutnya," ujar Eric kepada Republika.co.id, Rabu (25/4).

 

Rupiah jatuh ke level terendah dalam dua tahun terakhir pada pekan ini. Berdasarkan kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, pada Rabu (25/4) rupiah berada di level Rp 13.888 per dolar AS, menguat tipis dari hari sebelumnya yang sebesar Rp 13.900 per dolar AS.

Pelemahan rupiah ini tidak bisa dipungkiri karena peningkatan yield surat utang AS (US treasury bills) mendekati level psikologis 3,0 persen dan munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari tiga kali selama 2018.

Selain rupiah, mata uang negara berkembang juga mengalami pelemahan. Meskipun pelemahan rupiah ini relatif lebih kecil dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya, kata Eric, pemerintah perlu waspada.

"Jika pelemahan rupiah ini trennya persisten maka akan bisa menaikkan tekanan inflasi dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga akan menyebabkan beban utang luar negeri jika dikonversi ke rupiah semakin besar," kata Eric menjelaskan.

Di sisi lain, fundamental ekonomi domestik dinilai masih baik. Namun, rupiah sangat rentan terhadap faktor eksternal karena kepemilikan asing yang relatif besar di Surat Berharga Negara (SBN) dan bursa saham. Ketika ada outflows dari investor asing, rupiah dapat tertekan.

"Tekanan eksternal dari USD mesti mereda dulu dan mesti ada berita positif yang bisa memperkuat rupiah lebih jauh dari range itu (Rp 13.800 per dolar AS)," kata Eric.

Bank sentral juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan setelah memastikan arah kebijakan suku bunga Fed Fund Rate setelah rapat FMOC bulan Mei dan inflasi Lebaran untuk melihat tekanan moneter.

"Tapi prediksi saya jelang rapat Fed tanggal 12-13 Juni 2018 ada kemungkinan BI menaikkan bunga acuan 25 bps. Ini juga melihat berapa besar cadangan devisa yang terkuras untuk stabilisasi nilai tukar rupiah," kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira.

 

Baca juga, Perbankan: Waspadai Nilai Tukar Rupiah.

 

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah kembali ditutup melemah 0,29 persen di level Rp 13.921 per dolar AS setelah diperdagangkan di kisaran Rp 13.880-Rp 13.924 per dolar AS. Adapun pada pembukaan, rupiah berada di level Rp 13.881 per dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan, untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, BI telah melakukan intervensi, baik di pasar valas maupun pasar SBN, dalam jumlah cukup besar. Dengan upaya tersebut, IDR yang pada Jumat sempat terdepresiasi sebesar -0,70 persen, pada Senin hanya melemah -0,12 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement