REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lektor Kepala Perbanas Institute Dradjad Wibowo tidak sepakat jika disebutkan bahwa pelemahan rupiah bulan April 2018 ini disebabkan faktor eksternal. Surplus perdagangan Indonesia pada periode Januari-Maret 2018 sebagai penyebab yang signifikan atas jebloknya rupiah.
"Ada sebagian kalangan pemerintah dan BI (Bank Indonesia) yang senang memakai alasan ini ketika rupiah melemah. Namun, saat rupiah menguat, langsung diklaim sebagai hasil kinerja pemerintah/BI,” kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (24/4).
Dijelaskannya, memang benar ada pengaruh faktor eksternal, terutama kebijakan the Fed. Namun, hal ini sudah di-factored in oleh pasar sejak Januari-Februari 2018.
"Saya malah melihat jebloknya surplus perdagangan Indonesia pada periode Januari-Maret 2018 sebagai penyebab yang signifikan. Surplus perdagangan Januari-Maret 2017 adalah 4,09 miliar dolar AS, sementara Januari-Maret 2018 hanya 0,28 miliar dolar AS."
"Anjlok hampir 15 kali lipat,” kata anggota Dewan Kehormatan PAN tersebut.
Jika surplus perdagangan anjlok, kata Dradjad, nilai tukar cenderung akan tertekan. Kecuali, ada faktor lain yang kuat melawan pelemahan kinerja perdagangan.
"Saya tidak tahu mengapa data di atas lolos dari perhatian, terutama pejabat terkait,” ungkapnya.
Memang, lanjut Dradjad, ekonomi Indonesia masih stagnan dan lemah. Faktanya, pertumbuhan ekonomi tetap gagal keluar dari “jebakan 5 persen”. Padahal, pembangunan infrastruktur digenjot besar-besaran.
Menengok pengalaman berbagai negara seperti AS pada saat Depresi Besar, papar Dradjad, masifnya pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta api terbukti mampu melonjakkan pertumbuhan. "Kok di Indonesia terlihat gak ngefek?” tanya Dradjad.
Dunia usaha, menurut dia, memang sudah tiga tahunan ini kondisinya ngos-ngosan. "Banyak pengusaha yang cerita ke saya, betapa sulitnya bisnis tiga tahun ini. Mulai dari pengusaha properti hingga pedagang baju hingga konsultan dan sebagainya. Keluhannya sama, jualan susah, margin tipis, hidup dikejar-kejar pajak,” paparnya.
Dradjad heran, hal riil seperti ini terkesan lolos dari data BPS. Namun, fakta bahwa infrastruktur seolah gak ngefek ke pertumbuhan adalah bukti awal yang kuat mengenai lemahnya ekonomi dan bisnis.
"Jika belanja infrastruktur tidak melonjak besar-besaran, bukan tidak mungkin pertumbuhan hanya sekitar empat persen,” kata Dradjad.
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Rahmatullah mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS lebih banyak diakibatkan oleh faktor eksternal.
Dalam bincang media di Jakarta, Senin (23/4), Rahmatullah menyebutkan nilai tukar dolar AS sudah kembali menguat terhadap mata uang utama maupun mata uang negara-negara berkembang. Ia menyebutkan pula bahwa imbal hasil di global, khususnya US treasury, sekarang sudah mendekati tiga persen.
"Artinya, banyak pelaku pasar global mulai kembali antisipasi kemungkinan Fed Fund Rate itu akan naik lagi dalam waktu dekat. Tadinya ada kemungkinan tiga kali, tetapi juga kemungkinan lebih agresif hingga empat kali," ucap Rahmatullah.
Ia juga mengatakan, masih terbuka kemungkinan dolar AS secara global terkoreksi melemah. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (23/4) sore bergerak melemah 80 poin menjadi Rp13.943 dibandingkan posisi sebelumnya, Rp13.863 per dolar AS.
Kepala riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, mengatakan, kemungkinan kenaikan suku bunga FFR mendorong dolar AS menguat terhadap mata uang dunia, termasuk rupiah.
Ia menambahkan bahwa apresiasi dolar AS juga didukung oleh meredanya tensi geopolitik serta tingginya imbal hasil obligasi AS. Kondisi itu mendorong aliran dana keluar dari negara berkembang.