REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Parlemen Uni Eropa telah menyetujui rencana phase out biodiesel berbahan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada 2021. Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, rencana larangan CPO oleh Komisi Eropa tidak akan menjadi penghambat dalam negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
"Ada atau tidak ada masalah kelapa sawit, kita akan tetap menegosiasikan CEPA karena ini kan rules making," ujar Iman ketika ditemui di Kantor Wakil Presiden, Jumat (20/4).
Iman mengatakan, rencana larangan CPO oleh Komisi Eropa cukup mengkhawatirkan Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia akan memantau perkembangan rencana tersebut. Adapun, rencana larangan biodiesel berbahan baku minyak sawit masih dalam tahap diskusi di Komite Eropa. "Itu kan belum diterapkan, ini juga belum menjadi eksekutif order dari Komisi Eropa, kita tetap mengamati perkembangannya," kata Iman.
Sejauh ini Indonesia terus memantau perkembangan rencana larangan biodiesel berbahan baku minyak sawit ke Eropa. Menurut Iman, Indonesia terus menyuarakan kepentingannya terhadap ekspor minyak sawit mentah. Adapun perundingan IEU-CEPA tidak hanya sebatas produk minyak sawit mentah saja, namun ada produk perikanan dan produk manufaktur.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita mengatakan, rencana ini dapat merugikan ekspor CPO Indonesia, termasuk produk turunannya. "Ekspor kita tertinggi adalah CPO dan seluruh derivativenya, kemudian batubara. Jadi kalau itu terganggu, kita semua terganggu. Kalau kita diganggu, kita juga bisa ganggu (Uni Eropa)," ujar Enggar yang ditemui di Kantor Wakil Presiden, Senin (9/4).
Menurut Enggar, rencana larangan biodiesel berbahan CPO dan produk turunannya ini dapat menimbulkan perdagangan yang tidak adil. Uni Eropa mulai melakukan kampanye negatif dengan mengangkat isu kerusakan lingkungan dan mengedepankan kampanye produk-produk makanan yang tidak mengandung kelapa sawit. Enggar meminta, sebaiknya Uni Eropa juga dapat membandingkannya dengan produk minyak nabati lainnya.