Selasa 20 Mar 2018 21:03 WIB

Pemerintah Diminta Pastikan Data Produksi Beras Nasional

Data itu diperlukan sebelum melepas beras impor ke pasaran.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Budi Raharjo
Pekerja mengangkut beras impor dari Thailand di gudang Bulog Divre Jatim, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (1/3).
Foto: Antara/Umarul Faruq
Pekerja mengangkut beras impor dari Thailand di gudang Bulog Divre Jatim, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Perekonomian (Kemenko) saat ini meminta Bulog bisa menggelontorkan beras impornya ke pasar. Sebelum hal tersebut direalisasikan, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih meminta pemerintah pastikan data produksi beras nasional terlebih dahulu.

"Sebaiknya pemerintah memastikan kembali produksi beras nasional indonesia 2017, karena menurut Kementerian Pertanian (Kementan) kan surplus, dan surplusnya itu luar biasa jumlahnya," kata Henry kepada Republika, Selasa (20/3).

Untuk itu, Henry meminta Presiden Joko Widodo bisa memerintahkan kemenseharusnya Presiden harus perintahkan Kementan untuk menujukan bukti beras surplus tersebut. Selain itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga diminta menjelaskan mata rantai perdagangan beras saat ini.

Hal itu menurutnya jika dilakukan bisa memberikan pencerahan mengapa harga beras hingga saat ini masih tinggi. "Jelaskan ke publik mengapa harga beras masih

tinggi," tutur Henry.

Sebelum beberapa hal tersebut dilakukan, Henry meminta sebaiknya beras yang sudah diimpor disimpan di gudang Bulog. Selain itu juga disimpan di negara asal beras impor jika belum sempat dikirim ke Indonesia meski sudah disimpan.

"Sebab ini kan karena Kementan masih tetap bertahan mengatakan bahwa produksi beras di Indonesia surplus dan surplusnya luar biasa," ungkap Henry.

Untuk itu, dia menegaskan langkah pemerintah yang akan melepas beras impor ke pasar belum tepat. Sebab, kata Henry, saat ini belum ada kejelasan mengenai data beras nasional. Begitu juga dengan harga beras yang tinggi juga menurutnya patut dipertanyakan apakah karena produksi yang rendag atau mata rantai yang dikuasai mafia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement